Aug 27, 2010

Ikan Patin Masak Tempoyak Ala Temerloh

Satu ekor ikan patin (patin sangkar - ikan disiang dan diperapkan dengan asam jawa dan limau nipis untuk menghilangkan bau hanyir ikan selama 1 jam)

2 ulas kunyit hidup (ditumbuk halus)
6 biji bawang kecil (ditumbuk halus)
20 biji cili api (ditumbuk halus)
2 senduk tempoyak (agak-agak, nak pekat letak lebih lagi)
1 biji timun cina (dipotong dadu)
2 ikat daun kesum
2 ikat bunga kantan
sedikit asam keping
3 cawan air (ikut kepekatan)
garam (ikut rasa)
gula (kalau agak terlalu pedas)

CARA MEMASAK

Ikan dibersihkan dan diperapkan dengan asam jawa dan limau nipis untuk menghilangkan bau hanyir ikan, kunyit hidup, bawang kecil dan cili api ditumbuk halus dan digaulkan dengan tempoyak tadi masukkan kedalam periuk yang diletakkan air gaul sehingga rata masukkan juga asam keping, letak atas api dan biar 3 minit baru masukkan ikan yang terlebih dahulu dibersihkan, masukan bunga kantan, daun kesum dan timun cina tadi, sambil itu masukakn garam, jangan terlampau masin, kalau pedas sangat masukkan gula sikit.

Cadangan Hidangan: sedap dimakan panas dengan nasi putih, amat menyelerakan, resepi ibu saya sendiri.selamat mencuba
Tambahan: tempoyak biarlah yang 5 hari diperam baru sedap

Sumber: Norhayati Abd Manan

Aug 26, 2010

Tok Keramat

Bab 2
Tiba-tiba Kwatlin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan kerana selama 3 hari 3 malam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh datuk iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat abangnya, dan matanya menjadi liar, keluar suara parau yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan datuk iblis. “Abang sekalian, dengarlah. Aku The Kwatlin, bersumpah untuk membalas kematian abang sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Raja Pengemis 8 Lengan.” Tiba-tiba dia terhuyung mundur memandang wajah abang sulongnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya. “Abang.” Dia menerkam dan berlutut dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu. “Jangan berduka, abang..jangan menangis.” Dia berdiri sesenggukan. “Apa? Aku telanjang? Pakaianku?” Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwatlin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak besar. “Hi-hi-hik, pakaianmu besar, abang.” Dia memandang wajah mayat abangnya dan tertawa lagi. “Hi-hik, nah begitu, tertawalah abang, tertawalah abang sekalian, tertawa dan gembiralah kerana dendam kalian pasti akan kubalaskan. Hi-hi-hik...hu-hu-huh.”

Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-hayang dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang abangnya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ke 13 orang pendekar Wudang itu, sebilah Pedang Bwee Merah pemberian Ketua Wudang sendiri, yang gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah. Dia terhuyung-hayang, pergi tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja, kecil-kecil dan terhuyung-hayang kerana tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya mengerbang dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu akan merasa seram, mengira setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwatlin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada ingatannya.

Pada hari yang sama di daerah timur pergunungan, ketika 13 Pendekar Sakti roboh di tangan Raja Pengemis 8 Lengan di kaki pergunungan Seribu Bunga, terjadi pula peristiwa hebat di bahagian daerah barat pergunungan itu. Peristiwa yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeza.

Pada pagi hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pergunungan Seribu Bunga sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri dan harus diakui wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang kuat sungguhpun usianya sudah 40 tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga dan ngeri kerana sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip. Mata itu terbuka terus seperti mata patung.

Dengan langkah longlai dan lemah, membuat pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutar sebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas. Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya yang panjang terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat mengikuti lekuk tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang mengghairahkan dari dada sampai ke kaki kerana celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat juga.

Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit, namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa. Inilah dia yang terkenal di dunia hitam kaum penjahat, sebagai Cendekiawati Pedang Payung, sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri sangking ngerinya kerana wanita yang sebenarnya hanya bernama Lioksi ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya. Bahkan dia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan hantu yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedut habis oleh hantu ini. Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira wanita yang berlenggang-lenggok dengan payung di bahu itulah iblis wanita yang menggeggarkan dunia perkungfuan dengan perbuatannya yang luar biasa. Pada hari itu Cendekiawati Pedang Payung ini mendaki lereng Gunung Seribu Bunga.

Tentu saja dia pun mendengar berita menggeggarkan dunia perkungfuan akan adanya Anak Ajaib, keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangan dan penuh ghairah. Dia dapat membayangkan betapa tenaga mukjizat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat kalau dia dapat menghisap kejantanan si Budak Ajaib itu. Begitu mendengar akan budak ajaib di puncak Pergunungan Seribu Bunga di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh mengunjungi pergunungan itu. Biarpun sering kali Lioksi pergi merantau namun dia memiliki sebuah bangunan kecil seperti istana mewahnya terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, iaitu di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki Gunung Luliang, merupakan daerah maut kerana banyak lumpur dan pasir yang berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan haiwan. Namun di tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain, terdapat sebuah tanah datar yang keras semacam pulau dan di atas pulau inilah letaknya istana kecil milik Lioksi si Cendekiawati Pedang Payung, bersama belasan orang pembantu-pembantu yang sudah menjadi orang-orang kepercayaannya.

Dia disebut cendekiawati kerana sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil Lioksi telah mempelajari dan mahir dalam kesusasteraan, bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar pelajar. Akan tetapi, penyamarannya terbongkar dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya lalu mengambilnya sebagai seorang gundik. Selain ilmu sastera, Lioksi juga semenjak kecil digembleng ilmu oleh sahabat ayahnya, apalagi setelah menjadi gundik pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal maharaja yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu kungfu tinggi yang diperolehnya sebagai ‘bayaran’. Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat gundiknya ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria, dia diusir dari istana pembesar itu. Sebaliknya wanita ini membunuh si pembesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian lari.

Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Cendekiawati Pedang Payung, namun tidak ada yang menduga dia adalah Lioksi. Lioksi berjalan sambil tersenyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih mengkilat dan di kedua hujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi taring. Hatinya gembira kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh budak ajaib itu. “Hmm, aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama mungkin. Hmm.”

Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan langkahnya, tetapi kembali dia tersenyum manis matanya mengerling tajam penuh keghairahan ketika melihat 5 orang lelaki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria seperti Lioksi tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat 5 orang pria yang usianya rata-rata 30 tahun lebih bertubuh tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah. Seperti melihat 5 butir buah yang ranum dan matang.

“Aih..aih siapakah kamu berlima yang gagah perkasa ini? Apakah kamu berlima sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?” Seorang di antara mereka, yang usianya 30 tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam dan tebal berkata, “Apakah kami berhadapan dengan Cendekiawati Pedang Payung dari Rawa Bangkai?”
Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah merka berganti-ganti dengan berseri, mulunya tersenyum ketika menjawab, “kalau benar mengapa? Kalian ini siapa?” “Kami adalah 5 Pendekar Gunung Ayam”. Cendekiawati Pedang Payung mengeluarkan bunyi, “Isk..isk..isk.” dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata manis. “Aih, kiranya 5 pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia perkungfuan sebagai murid-murid utama Huashan? Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku.”

“Harap puan tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa adanya Cendekiawati Pedang Payung dan kerana melihat engkau mendaki Gunung Seribu Bunga, terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang.” “Ehm.” Maksud kalian?” Senyumannya makin manis dan kerling matanya makin memikat. “Kami telah mendengar akan berita tokoh-tokoh perkungfuan sedang berusaha untuk merebutkan Anak Ajaib yang berada di Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar pula Cendekiawati Pedang Payung merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik Anak Ajaib. Kerana kami telah terhutang budi, diberi ubat oleh Anak Ajaib kami hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan.. maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya. Andaikata kami tidak berhutang budi sekalipun, mengingat Anak Ajaib adalah seorang yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban kami untuk melindunginya.”

Kembali Cendekiawati Pedang Payung tersenyum. “Terus terang saja, memang aku mendengar tentang Anak Ajaib dan aku ingin mendapatkannya, hari ini aku mendaki Gunung Seribu Bunga. Habis kalian mau apa?” Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu puan. Kalu kau memaksa hendak menganggu Anak Ajaib, terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan.” “Hi..hi..hik, galak sungguh. 5 lelaki muda tampan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh ghairah, sungguh tidak semestinya kalau bermain senjata mengadu nyawa.” “Hmm, habis semestinya bagaimana?” tanya orang pertama dari 5 Pendekar Gunung Ayam yang betapapun juga merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ, tidak mengganggu Anak Ajaib.

Mata itu tajam mengerling dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan. “Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu kasih.” “Perempuan hina. Jalang. Hantu betina.” 5 orang itu telah mencabut senjata golok besar masing-masing yang selama ini telah mengangkat nama mereka di dunia perkungfuan. Kelima pendekar ini memang merupakan ahli-ahli bermain Senigolok Huashan yang terkenal dan selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok nadi yang bernama Totokan 3 Jari. “Siaatt..singg..singg” “Ha..ha, bagus. kalian memang gagah bermain golok, tentu lebih gagah kalau bermain cinta, hi..hik.” Cendekiawati Pedang Payung mengelak dan tiba-tiba payung hitamnya kembang terbuka. Payung itu merupakan senjata isimewa, dibuat dari waja yang kuat dan kainnya dibuat dari kulit badak yang kering dan sudah dimasak lembut, namun kuatnya luar biasa dapat menahan tetakan senjata tajam. Adapun hujung payung itu meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang melengkung itu pun dapat digunakan sebagai senjata cangkuk yang hebat.

“Trang..trang..trang” Bunga api berpijar ketika golok-golok itu tertangkis oleh payung dan kerana kini tubuh wanita itu tertutup payung kembang dan berputar-putar, sukarlah bagi 5 orang itu untuk menyerangnya dari depan. Mereka lalu berloncatan dan mengurung wanita itu. “Hi..hik, ayuh keroyoklah. Kalau baru kalian 5 orang ini saja, masih terlampau sedikit bagiku. Hi..hik, hendak kulihat sampai di mana kekuatan kalian apakah patut untuk menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta.” “Perempuan rendah.” Orang pertama dari 5 pendekar itu amat marah, goloknya menyambar dahsyat, tapi tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara kerana telah terikat oleh suatu benda hitam panjang lembut. Kiranya wanita itu telah mengudar gelung rambutnya dan ternyata rambut itu panjangnya sampai ke bawah pinggulnya, rambut yang gemuk hitam, panjang dan harum baunya, bahkan bukan itu saja keistemewaannya, rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh, sebagai cambuk yang kini berhasil membelit golok orang pertama dari 5 Pendekar Gunung Ayam. Sebelum orang ini sempat menarik goloknya, tangan kiri Cendekiawati Pedang Payung bergerak menghentam tengkuk orang itu dengan tangan miring.

“Krekk.” Lelaki itu mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali kerana dia telah terkena totokan istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguhpun dia masih dapat melihat dan mendengar. 4 orang lainnya terkejut dan amat marah. Mereka memutar golok lebih lincah lagi, bahkan kini tangan kiri mereka membantu dengan serangan totokan-totokan 3 Jari yang ampuh. Namun orang yang mereka keroyok itu tertawa mempermainkan mereka. Setiap serangan golok dapat dihalau dengan mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan hujung rambut yang panjang itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan menyambar-nyambar di atas kepala mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan kepanikan saja kerana memang dipergunakan untuk mempermainkan mereka.

“Mampuslah.” Orang ke 2 yang ketika goloknya ditangkis, cepat ‘memasuki’ lowongan dan berhasil mengirim totokan. Kerana tempat terbuka yang dapat dimasuki jari tangannya di antara putaran payung itu hanya di bagian dada, dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam keadaan seperti itu, mengadapi lawan yang amat kuat, pendekar ini sudah tidak mau lagi mempergunakan sopan santun yang tentu tidak akan dilanggarnya kalau keadaan tidak mendesak seperti itu. “Cuss..” 3 batang jari itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat, sedangkan wanita itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata, “Aih, kau bersemangat benar, tampan. Belum apa-apa sudah main colek dada, hi..hik.” Tentu saja pendekar ini menjadi merah mukanya. Dia merasa malu akan tetapi juga penasaran. Ilmu totok yang dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal. Tadi jelas dia telah menotok nadi yang amat berbahaya di dada wanita itu, mengapa wanita itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan menyindirnya dan dianggap dia mencolek dada?, Dengan marah dia menerjang lagi bersama 3 orang adiknya.

“Sudah cukup, sudah cukup, rebah dan beristirahatlah kalian.” Tiba-tiba payung itu tertutup kembali, berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung sinar hitam menyambar-nyambar mendesak 4 orang itu, kemudian dari atas terdengar ledakan-ledakan dan berturut-turut 3 orang lagi roboh terkena totokan hujung rambut wanita sakti itu. Seperti orang pertama, mereka ini pun roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak namun tidak menggerakan kaki tangan mereka. Orang termuda dari mereka terkejut setengah mati melihat betapa 4 abangnya telah roboh. Namun dia tidak gentar, bahkan dengan kemarahan dan kebencian meluap dia memaki, “Perempuan hina, pelacur rendah, hantu betina, aku takkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu.”

“Aihh..kau penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku.” Golok itu tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental dan sebelum lelaki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung rambut telah membelit lehernya. Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan lilitan rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbelit rambut yang seolah-olah hidup seperti ular-ular hitam yang kuat. “Nah, ke sinilah, tampan. Mendekatlah, kekasih. Kau perlu diajar agar tidak suka memaki lagi1”

Lelaki itu sudah membuka mulut hendak memaki lagi, akan tetapi lilitan rambut pada lehernya makin erat sehingga dia tidak dapat bernafas, kemudian rambut itu menariknya mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu. Kini lelaki itu sudah berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada yang membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau wangi yang aneh dan memabokkan, akan tetapi kerana lehernya terbelit kuat-kuat, dan nafasnya tak dapat lancar, dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar. “Aihh, kau perlu diberi sedikit ajaran, Tampan.”

4 orang pendekar yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian betapa wanita itu kini mendekatkan muka adik mereka yang termuda, kemudian membuka mulut dan mencium mulut adik mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur keluar itu.Mereka melihat tubuh adik mereka berkelojot sedikit seperti menahan sakit, mata adik mereka terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut pria itu dengan mulutnya sendiri yang lebar. Tak dapat terlihat oleh 4 orang pendekar itu betapa wanita itu yang kejam dan keji seperti iblis, telah menggunakan giginya untuk menggigit sampai terluka lidah adik mereka yang terjulur keluar, kemudian menghisap darah dari luka di lidah itu.

Mereka berempat hanya melihat betapa wanita itu memejamkan mata, baru sekarang mereka melihat wanita itu memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wajah adik mereka makin pucat dan mata adik mereka yang terbelalak itu membayangkan kenyerian dan ketakutan yang hebat. Agaknya wanita itu tidak puas kerana darah yang dihisapnya kurang banyak, kini dia melepaskan mulut pemuda itu dan memindahkan ciuman mulutnya ke leher si pemuda. Betapa terkejut 4 orang pendekar itu melihat bahwa mulut adik mereka penuh warna merah darah. “Adik..” Mereka berseru akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangan mereka.
Adik mereka meronta-ronta seperti ayam disembelih, matanya melotot memandang ke arah para abangnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan ketika wanita itu kelihatan jelas menghisap-hisap lehernya ternyata bahwa urat besar di lehernya telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya wanita itu menghisap darah yang membanjir keluar dari urat di leher itu.

Mata yang melotot itu makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin pucat dan akhirnya tubuh yang meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu pengsan kerana kehilangan banyak darah, takut dan ngeri. Cendekiawati Pedang Payung melepaskan lilitan rambutnya dan tubuh itu tergulig roboh, terlentang dengan muka pucat dan nafas terengah-engah. 'Adik..” Kembali mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita itu menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk menjilati darah yang masih belepotan di bibirnya yang menjadi makin merah. Wajahnya kemerahan, segar seperti bunga mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia mendekati 4 orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian.

Wanita itu tidak menyerang mereka, agaknya dia sudah puas menghisap darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak -gerak dan sekali renggut saja pakaian 4 orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia bangkit berdiri, dengan gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia membuka pakaiannya, menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari, sampai dia bertelanjang bulat sama sekali di depam 4 orang itu yang membuang muka dengan perasaan ngeri dan sebal. “Kalian layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan kalian berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian.” “Ceh, hantu betina. Kauanggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah murid Huashan yang tidak takut mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada memenuhi nafsumu yang terkutuk dan menjijikan.” kata 4 orang itu saling susul dan saling bantu.

Cendekiawati Pedang Payung tersenyum. “Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku sampai mampus!” Dia lalu membungkuk dan menarik lengan seorang di antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri menggurat beberapa tempat di belakang dan tengkuk pria ini. Orang itu menggigil, menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi kerana dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalaman, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggetarkan tubuhnya melalui luka-luka goresan kuku beracun dari kelingking itu. Mukanya menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan nafasnya terengah-engah. 3 orang pendekar yang lain memandang penuh kekhuatiran dan kengerian.

Tiba-tiba wanita itu terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya dan terjadilah hal yang membuat 3 orang pendekar yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. Mereka melihat adik mereka itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh ghairah nafsu. Dengan mata terbelalak mereka melihat wanita itu menyambutnya dengan kedua lengan terbuka, bergulingan di atas rumput dan wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian mengalihkan mulutnya yang lebar ke leher adik mereka. Mereka bertiga terpaksa memjamkan mata agar tidak usah menyaksikan peristiwa yang memalukan dan terkutuk itu. Mereka mengerti bahwa adik mereka melakukan hal terkutuk itu kerana terpengaruh oleh racun yang diguratkan oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula adik mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti telah dilakukan pada orang pertama tadi kini juga menghisap darahnya sepuas hatinya.

3 orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa dapat berdaya apa-apa tanpa dapat melawan. Hal ini dilakukan berturut-turut oleh Cendekiawati Pedang Payung dan 3 hari 3 malam kemudian, dia meninggalkan tempat itu sambil menjilat-jilat bibirnya penuh kepuasan. Setelah dia melempar kerling ke arah 5 tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat semua itu, bergegas dia pergi mendaki Gunung Seribu Bunga untuk mencari Anak Ajaib yang amat diinginkan. 5 Pendekar Gunung Ayam itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh mereka kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka seperti 5 ekor lalat yang terjebak ke sarang labah-labah dan setelah semua darah mereka disedot habis oleh labah-labah, mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan begitu saja.

Pada pagi hari itu seperti biasa Kwa Sinliong si Anak Ajaib, setelah mandi cahaya matahari, lalu menjemur ubat-ubatan dan tidak lama kemudian berturut-turut datanglah orang-orang desa yang memerlukan bahan ubat untuk bermacam penyakit yang mereka derita. Anak Ajaib mendengarkan dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit yang mereka derita, menyiapkan ubat-ubat untuk mereka semua dengan hati penuh belas kasihan. Semua ada sebelas orang desa, tua muda laki perempuan yang memandang kepada budak itu dengan sinar mata penuh kekaguman. Baru bertemu dan memandang wajah Anak Ajaib itu saja, mereka sudah merasa banyak berkurang penderitaan sakit mereka.

Seolah-olah ada wibawa yang keluar dari wajah budak penuh kasih sayang itu yang meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu saja hal ini sebenarnya terjadi kerana kepercayaan mereka yang penuh bahwa budak itu akan dapat menyembuhkan penyakit mereka, sehingga keyakinan ini sendiri sudah merupakan ubat yang mujarab. Dan budak ajaib itu memeang bukanlah seorang dukun yang menggunakan kemukjizatan dan sulap atau sihir untuk mengubati orang, melainkan berdasarkan ilmu pengubatan yang wajar. Dia memilih buah, daun, bunga atau akar ubat yang memang tepat mengandung khasiat atau daya penyembuh terhadap penyakit-penyakit tertentu itu.

Tiba-tiba terdengar nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh mereka semua. Juga Sinliong, berhenti sebentar mengumpulkan dan memilih ubat yang akan dibagikan kerana mendengar suara nyanyian yang aneh itu. Akan tetapi begitu kata-kata nyanyian itu dimengertinya, dia mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepala. “Aihh, kalau hidup hanya untuk mengejar kesenangan, apapun juga tentu tidak akan dipantangnya demi mencapai kesenangan.” kata Sinliong. “Hu-ha-ha, benar sekali, Anak Ajaib. Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apapun juga, termasuk membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini.”

Terdengar jawaban dan tahu-tahu disitu telah berdiri Raja Pengemis 8 Lengan. Tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu 5 kali ujung tongkat itu bergerak menerbangkan tanah dan kerikil ke depan. Tampak sinar hitam berkelebat menyambar 5 kali, disusul jerit-jerit kesakitan dan robohlah berturut-turut 5 orang desa yang berada di depan Sinliong, roboh dan berkelojotan kemudian tewas seketika kerana tanah dan kerikil itu masuk ke dalam kepala mereka. “Hi-hi-hik, kepandaian seperti itu saja dipamerkan di depan Anak Ajaib, lihat ini.” Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan tau-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik Cendekiawati Pedang Payung. Dia menudingkan payung hitamnya yang tertutup itu ke arah para penghuni desa yang berwajah pucat dan dengan mata terbelalak memandang 5 orang teman mereka yang telah tewas.

“Cuat-cuat-cuat.” Dari ujung payung itu meluncur sinar-sinar hitam dan berturut-turut, enam orang desa yang masih hidup menjerit dan roboh tak bergerak lagi, leher mereka ditembusi jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung payung itu. Sejenak Sinliong terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan dan kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas orang desa yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berderai dan dengan suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian kepada Raja Pengemis 8 Lengan dan Cendekiawati Pedang Payung, “Kalian ini manusia atau iblis? Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian amat terkutuk. Membunuh orang-orang tak berdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang.” Budak itu memandang kepada sebelas mayat dan sesenggukan menangis.

“Hi-hi-hik, anak baik, apakah kau takut kubunuh? Jangan khuatir, aku datang bukan untuk membunuhmu,” kata Cendekiawati Pedang Payung, agak kecewa melihat betapa budak ajaib itu menangis dan membayangkannya ketakutan. Sinliong mengangkat muka memandang wanita itu, biarpun air matanya masih berderai turun namun pandang matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan, “Kau mau bunuh aku atau tidak, terserah. Aku tidak takut.” “Ha-ha-ha. Benar hebat. Anak Ajaib, kalau kau tidak takut kenapa menangis?” Raja Pengemis 8 Lengan menegur. “Apa kau menangisi kematian orang-orang tak berharga itu?” Cendekiawati Pedang Payung menyambung. “Mereka sudah mati mengapa ditangisi? Aku menangis menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, aku menangis kerana melihat kesesatan dan kekejaman kalian.”

2 tokoh sesat itu terbelalak hairan saling pandang kemudian mereka teringat kembali akan niat mereka terhadap anak ajaib ini, keduanya seperti dikomando saja lalu tertawa, dan keduanya dengan kecepatan kilat menyerbu ke depan hendak menerkam Sinliong yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar mata sedikitpun tidak membayangkan rasa takut. “Dess..” Kerana gerakan mereka berbarengan, disertai rasa khuatir kalau-kalau keduluan oleh orang lain, melihat Raja Pengemis 8 Lengan sudah lebih dekat dengan Anak Ajaib, Cendekiawati Pedang Payung lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap Anak Ajaib kerana dia kalah cepat, melainkan melakukan gerakan mendorong dengan kedua tangannya ke arah Raja Pengemis 8 Lengan. Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh wanita iblis ini dahsyat sekali, membuat Raja Pengemis 8 Lengan terkejut ketika ada angin panas menyambar, dia cepat menunda niatnya menangkap Anak Ajaib dan bergerak menangkis. Keduanya merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke belakang.

Sejenak mereka saling berpandangan dan Raja Pengemis 8 Lengan yang lebih dulu dapat menguasai dirinya lalu tertawa, “Ha-ha-yha, lama tidak jumpa, Cendekiawati Pedang Payung menjadi makin gagah.” “Raja Pengemis 8 Lengan, selama ada aku di sini, jangan harap kau akan dapat merampas Anak Ajaib dari tanganku.” Wanita itu berkata dan memandang tajam, siap mengadapi datuk yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu. “Aha, Cendekiawati Pedang Payung, sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku memerlukannya untuk menyempurnakan ilmuku.” “Hi-hik, ilmu Tangan Darah Hitam, bukan? Kau sudah cukup tangguh, Raja Pengemis, dan betapa mudahnya bagimu untuk mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah, otak dan sum-sumnya. Jangan Anak Ajaib.” “Hmm, kau mau menang sendiri. Apa kau kira aku tidak tahu mengapa kau menghendaki Anak Ajaib? Dia masih terlalu muda, Cendekiawati, tentu tidak akan memuaskan hatimu. Apa sukarnya bagimu mencari orang-orang muda yang kuat dan menyenangkan?”

“Cukup! Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk memperebutkannya dengan kepandaian.” “Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku ingin mencuba kepandaian Cendekiawati dari Rawa Bangkai.” Lioksi, dari Rawa Bangkai sudah tak dapat menahan kemarahannya melihat ada orang berani merintanginya, sambil berteriak keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang istimewa, payung hitam yang tangkainya sebilah pedang runcing itu. “Trakk.” Raja Pengemis 8 Lengan sudah menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran 2 tenaga raksasa membuat keduanya terpental lagi ke belakang dan Raja Pengemis 8 Lengan cepat meloncat ke depan, tongkatnya berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ganas. “Trakk! Trakk!”

2 kali senjata payung dan tngkat bertemu di udara dan keduanya terhuyung ke belakang. Diam-diam mereka berdua terkejut sekali dan maklum dalam hal tenaga dalaman, kekuatan mereka berimbang. Sebelum mereka melanjutkan pertandingan mereka, tiba-tiba mereka melangkah mundur dan memandang tajam kerana berturut-turut di tempat itu telah muncul 5 orang datuk yang muncul tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul seperti setan-setan, tidak dapat didengar atau dilihat lebih dahulu, tahu-tahu sudah berdiri di situ sambil memandang ke arah Raja Pengemis 8 Lengan dan Cendekiawati Pedang Payung dengan bermacam sikap. Ketika 2 orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat dengan penuh perhatian mereka terkejut sekali. Biarpun di antara 5 orang itu ada yang belum pernah mereka jumpai, namun melihat ciri-ciri mereka, kedua orang golongan hitam ini dapat mengenal mereka yang kesemuanya adalah orang-orang aneh di dunia perkungfuan yang masing-masing telah memiliki nama besar sebagai orang-orang sakti.

Sementara itu, ketika melihat 2 orang datuk dan nenek tadi bertanding memperebutkan dirinya, Sinliong menjadi makin berduka. Tak disangkanya bahwa di tempat yang penuh damai ini di mana dia selama hampir 3 tahun tinggal penuh ketenteraman dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan kekejaman-kekejaman manusia ketika terjadi pembunuhan ayah bondanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang lebih hebat lagi di mana sebelas orang desa yang sama sekali tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh 2 orang itu. Dia lalu duduk di atas batu, bersila dan tak bergerak seperti arca, hatinya dilanda duka, dan dia memandang dengan sikap tidak mengacuhkan. Bahkan ketika muncul 5 orang aneh itu, dia pun tidak membuat reaksi apa-apa kecuali memandang dengan penuh perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan.

Orang pertama adalah seorang datuk berusia 60 tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka merah, kelihatan gagah sekali, di belakangnya tampak 2 bilah pedang menyilang, matanya lebar alisnya tebal dan suaranya nyaring ketika dia tertawa, “Ha-ha-ha, kiranya bukan hanya golongan putih saja yang tertarik kepada Anak Ajaib, juga iblis-iblis berdatangan sungguhpun tentu mempunyai niat lain.” Dengan ucapan yang jelas ditujukan kepada Cendekiawati Pedang Payung dan Raja Pengemis 8 Lengan ini, dia memandang 2 orang itu dengan terang-terangan. Orang ini bukanlah orang sembarangan, namanya sendiri adalah Siang Koanhouw, akan tetapi dia lebih terkenal dengan sebutan Tok Racun Bumi kerana selain merupakan seorang ahli racun yang sukar dicari tandingannya, juga dia amat ganas menghadapi lawan tidak mengenal ampun dan selain itu, juga dia amat jujur dan bicara bertindak tanpa pura-pura. Ilmu kungfunya tinggi sekali, dan yang paling terkenal sehingga menggegarkan dunia perkungfuan adalah ilmu pukulannya Kungfu Tangan Kilat dan Sepasang Pedang Seribu Racun. Tidak ada orang yang tahu di mana tempat tinggalnya kerana memang dia seorang perantau yang muncul di mana saja secara tak diduga seperti kemunculannya sekarang ini di Hutan Seribu Bunga.

“Huhh, bekas adikku yang tetap bodoh.” kata orang kedua. “Masa masih tidak mengerti apa yang dikehendaki 2 iblis ini. Tua busuk itu tentu ingin menghisap darah dan otak Anak Ajaib untuk menyempurnakan Ilmu Iblisnya Tangan Darah Hitam. Sedangkan iblis betina genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari kejantanan Anak Ajaib? Ayuh kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak tahu malu untuk menyangkal.” Orang yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang datuk yang beberapa tahun lebih tua daripada Tok Racun Bumi, bahkan menyebut Tok Racun Bumi sebagai bekas adik segurunya kerana memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang dan gerak-gerinya ketika bicara seperti seekor monyet tidak mau diam, bahkan kadang-kadang menggaruk-garuk kepala atau bontotnya, matanya liar memandang ke kanan-kiri. Inilah dia tokoh hebat yang berjuluk Racun Langit, bekas abang seguru Tok Racun Bumi yang memiliki kepandaian khas. Selain hebat dalam hal racun sesuai dengan nama dan julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Si Raja Monyet Sun Wukong itu. Sebatang tongkat yang dia beri nama Tongkat Monyet Emas seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah menciptakan ilmu kungfu tangan kosong yang meniru gerak-geri seekor monyet yang diberinya nama Kungfu Monyet Sakti. Seperti juga Tok Racun Bumi, dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu lagi nama aslinya, iaitu Bhong Sekbin.

“Hmm, setelah ada aku di sini jangan harap segala macam iblis dapat berbuat sesuka hati sendiri.” kata orang ke 3, suaranya kasar dan keras, pandang matanya seperti ujung pedang menusuk. Orang ini bernama Ciangham julukannya Dunia Utama. Usianya lebih kurang 50 tahun, dan dia adalah ketua dari Kumpulan Lengan Waja yang didirikannya di Secuan. Di tangan kirinya tampak sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal memiliki lengan sekuat waja. Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli kungfu dan setiap gerak-gerinya menunjukkan dia telah mempunyai kepandaian kungfu yang sudah mendarah daging di tubuhnya.

Orang ke 4 adalah seorang berpakaian sasterawan, sikapnya halus, usianya 50 tahun tapi masih tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah menjura ke arah kedua orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang mauwpit alat tulis pena panjang. “Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat ini, tidak sangka bertemu dengan 2 orang tokoh terkenal seperti kalian berdua, Raja Pengemis 8 Lengan dan Cendekiawati Pedang Payung, terutama sekali kepada Cendekiawati, terimalah hormatku.” Raja Pengemis 8 Lengan sudah segera mengenali siapa orang ini, akan tetapi Cendekiawati Pedang Payung tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata-kata menentang dari 3 orang pertama, merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan kata-kata orang berpakaian sasterawan yang tampan ini. Dia pun membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum simpul manis sekali dia bertanya, “Harap maafkan, tetapi siapakah saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki ilmu kepandaian sastera dan kungfu yang tinggi ini?”

Lelaki itu tersenyum dan menjawab halus, “Saya yang rendah dinamakan orang Pelajar Seruling Perak, seorang yang suka menyendiri di Gunung Beng.” Cendekiawati Pedang Payung kembali menjura, tersenyum dan berkata, “Aihh, sudah lama sekali saya telah mendengar nama besar Pelajar Seruling Perak, sebagai seorang ahli kungfu tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup seruling yang mahir dan sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Gunung Beng. Mudah-mudahan saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Gunung Beng yang indah, menjadi tamu Pelajar Seruling Perak yang ramah dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun.” Ucapan terkhir ini jelas ditujukannya kepada 3 orang tokoh pertama yang kasar-kasar tadi.

Orang ke 5 dari rombongan itu adalah seorang rahib berusia 60 tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah Kebutan dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya digoyang-goyang mengipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk. Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab Agama Tao, kitab utama dari kaum rahib (Pemeluk Agama Tao).
Amat sempurna,
namun tampak tak sempurna
tampak tidak lengkap
sungguhpun kegunaannya tiada kurang
Terisi penuh
namun tampaknya meluap tumpah,
tampaknya kosong
sungguhpun tak pernah kehabisan
Yang paling lurus,
kelihatan bengkok,
yang paling cerdas,
kelihatan bodoh,
yang paling fasih,
kelihatan bisu.
Api panas dapat mengatasi dingin,
air sejuk dapat mengatasi panas,
Sang Budiman, murni dan tenang
dapat memberkati dunia.”
“Huah-ha-ha-ha. Anda tentulah Pertapa Sakti Laut Selatan, bukan? Sajak-sajak Kitab Agama Tao agaknya telah menjadi semacam cap anda, ha-ha-ha.” kata Raja Pengemis 8 Lengan sambil tertawa mengejek. Rahib itu berkata, “Siancai. Raja Pengemis 8 Lengan bermata tajam, dapat mengenal seorang rahib miskin dan bodoh.” “Ah, jangan merendah, tok rahib,” kata Cendekiawati Pedang Payung, “Siapa orangnya yang tidak tahu biarpun anda seorang yang berpakaian rahib dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah istana dan menjadi majikan Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan pakaian lama untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya.”

“Siancai. Pujian kosong..” rahib itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tok Racun Bumi Siang Koanhouw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar. “Apa semua kepura-puraan yang menjemukan ini? Raja Pengemis 8 Lengan dan Cendekiawati Pedang Payung, ketika kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang merebutkan Anak Ajaib dan tentu 11 orang desa ini kalian berdua yang membunuhnya.” “Tok Racun Bumi, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?” Raja Pengemis 8 Lengan menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jelas dia merasa tak senang. “Bukan urusanku, memang. Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai maksud yang sama, iaitu masing-masing menghendaki agar Anak Ajaib menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Anak Ajaib untuk menjadi murid kami atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk.” kata pula Tok Racun Bumi yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi melalui suaranya yang nyaring.

“Tok Racun Bumi, kau jangan sombong. mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Anak Ajaib, adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. yang jelas, kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Anak Ajaib, untuk kepentingan pribadi masing-masing tentu saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini 5 orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dari dunia perkungfuan hendak mengandalkan ramai orang mengeroyok kami berdua. Aku, Cendekiawati Pedang Payung sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Pelajar Seruling Perak, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan.” kata Cendekiawati Pedang Payung yang cerdik.

“Perempuan sombong, Cendekiawati Pedang Payung.” Tok Racun Bumi membentak marah dan melangkah maju. “Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti engkau dari muka bumi.” “Tok Racun Bumi, buktikan tuduhanmu.” Cendekiawati Pedang Payung membentak dan dia pun melangkah maju. “Eh-eh, nanti dulu. Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Anak Ajaib? Kami pun tidak mau ketinggalan.” kata Raja Pengemis 8 Lengan mencela. “Benar sekali. Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh 2 orang saja. Aku pun tidak takut mengadapi siapa pun untuk memperoleh Anak Ajaib.” Dunia Utama Ciangham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada.

“Siancai, siancai..” Pertapa Sakti Laut Selatan melangkah maju, menggoyang kebutannya. “Harap Cuwi suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan budak yang biasanya hanya saling baku hantam memperebutkan sesuatu, sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, iaitu ingin memperoleh Anak Ajaib. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Anak Ajaib sendiri. marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada Anak Ajaib, kepada siapa dia hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau mencampuri, Bagaimana?” “Hmm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju.” kata Tok Racun Bumi. “Aku pun setuju.” kata Racun Langit dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin keras agar terdengar oleh Anak Ajaib.

“Tentu saja harus jujur tidak membohongi Anak Ajaib akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari kejantanannya juga harus berterus terang.” Tentu saja 2 orang tokoh golongan hitam itu geram sekali dan ingin menyerang Racun Langit yang licik itu. “Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau kata hendak mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?” Cendekiawati Pedang Payung mengejek Racun Langit. “Kau..” Majulah, rasakan Tongkat Monyet Emas pusakaku ini.” “Boleh. Siapa takut?” Wanita itu balas membentak. “Siancai..” Pertapa Sakti Laut Selatan mencela dan melangkah maju. “Apakah kalian benar-benar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan Anak Ajaib.”

7 orang itu lalu menghampiri Anak Ajaib yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku 7 orang itu. “Anak Ajaib, Lihatlah, aku satu-satunya wanita di antara kami bertujuh. Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana kerana tidak mempunyai anak, aku dengar engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bonda lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang raja di istanaku, di Rawa Bangkai dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Anak Ajaib, anakku.” Sinliong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab, juga tidak bergerak, hatinya makin sakit kerana dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan di balik pujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa 6 orang desa yang tidka berdosa. Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.

“Anak Ajaib, aku adalah ketua dari Kumpulan Pengemis 8 Lengan di Gunung Hong. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Anak Ajaib, dan kelak engaku akan menjadi raja pPengemis. Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Raja Pengemis 8 Lengan akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini.” Kembali Anak Ajaib memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh 5 orang desa sambil tertawa seperti datuk ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja pengemis. Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya.

“Anak baik, Anak Ajaib, dengarlah, Aku adalah Pelajar Seruling Perak, seorang sasterawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Gunung Beng. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu kungfu, ilmu sastera dan ilmu meniup seruling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Anak Ajaib.” “Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Anak Ajaib. Biarpun aku seorang yang kasar, namun hatiku lembut mengadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takan kecewa menjadi murid Tok Racun Bumi. Pilihlah aku menjadi gurumu, Anak Ajaib.”

“Tidak, aku saja. Aku Bhong Sekbin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewarisi ilmu Tongkat Monyet Emas. Kau jadilah murid Tok Racun Langit dan kelak kau akan merajai dunia perkungfuan, Anak Ajaib.” “Lebih baik menjadi muridku. Aku Dunia Utama Ciangham, di kolong dunia nombor satu dan ketua dari Kumpulan Lengan Waja di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong langit.”

“Siancai...siancai.” Kau dengarlah mereka semua itu, Anak Ajaib. Semua hendak mengajarkan ilmu kungfu dan mempamerkan kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi aku ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak aku jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar seperti Nabi Locu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Pertapa Sakti Laut Selatan, Anak Ajaib.” Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada budak yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang orang yang memujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan penuh duka.

“Terimakasih kepada tuan sekalian. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga di antara kalian kerana di balik semua kebaikan terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia, tidak, saya tidak akan turut siapapun, saya lebih senang tinggal di sini, di tempat sunyi ini. Harap sekalian tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini.” “Wah, kepala batu. Kalau begitu, aku akan memaksamu.” kata Tok Racun Bumi yang berwatak kasar. “Eh, nanti dulu. Siapa pun tidak boleh mengganggunya.” bentak Tok Racun Langit. “Siancai...sabar dulu semua. Jelas budak ajaib ini tidak mau memilih seorang di antara kita secara sukarela. Kerana itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, sebaiknya kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak meimiliki Anak Ajaib,” kata Pertapa Sakti Laut Selatan yang lebih sabar daripada yang lain.

“Mana diatur begitu?” bantah Raja Pengemis 8 Lengan yang khuatir kalau-kalau 5 orang itu akan mengeroyok dia dan Cendekiawati Pedang Payung. “Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus mengadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu baru adil.” “Tidak.” bantah Cendekiawati Pedang Payung, wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan Pertapa Sakti Laut Selatan. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. “Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demikian, satu0satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah hebat dari pada yang lain.”

Akhirnya Raja Pengemis 8 Lengan kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata masing-masing, membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling lirik, siap untuk menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga. Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh. Sinliong yang masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika 7 orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi Sinliong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa.

Memang hebat pertandingan ini kerana dipandang sepintas lalu, seolah-olah seetiap orang melawan 6 orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tok Racun Bumi menyerang Raja Pengemis 8 Lengan dengan pedang kembarnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Raja Pengemis 8 Lengan terkejut kerana pada saat itu dia sedang menyerang Pertapa Sakti Laut Selatan yang di lain pihak juga sedang menyerang Pelajar Seruling Perak. Terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tok Racun Bumi itu bertemu dengan tombak di tangan Dunia Utama dan tongkat Racun Langit, sehingga seolah-olah 2 orang ini melindungi Raja Pengemis 8 Lengan. Pertandingan kacau bilau dan hanya Cendekiawati Pedang Payung yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun itdak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang di antara mereka yang terdesak.

Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan ‘mengeroyok’ tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, tidaklah mudah dibokong oleh Cendekiawati Pedang Payung, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam pertandingan kacau-bilau itu. Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan meluap-luap.

Sinliong menjadi bengong. Entah bila datangnya, dia melihat seorang lelaki duduk di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan itu. Lelaki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencorat-coret di atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu. Sinliong yang kehairanan itu memperhatikan. Orang lelaki itu lebih kurang 40 tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagagian dada bajunya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan janggut terpelihara baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakainya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga mengkilap.

Rambutnya memakai kopiah sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan antara 7 orang sakti itu. Sinliong makin bingung. Betapa mungkin melukis 7 orang yang sedang berkelebatan hampir tak tampak itu? Sinliong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu 7 orang itu telah ada yang terluka. Dunia Utama telah terkena hantaman tongkat Racun Langit di pahanya sehingga terasa nyeri. Raja Pengemis 8 Lengan juga kena serempet bahunya sehingga berdarah oleh sebilah di antara Pedang kembar di tangan Tok Racun Bumi, sedangkan Pertapa Sakti Laut Selatan dan Pelajar Seruling Perak juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar sampai muntahkan darah namun berkat tenaga dalaman mereka, kedua orang ini tidak mengalami luka dalam yang parah.

Sinliong melihat betapa lelaki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan coretannya, menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranting pohon, memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tubuhnya melayang turun. “Tontonan tidak bagus.” Terdengar dia berseru. “7 orang tua bangka gila memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil benar-benar tak tahu malu sama sekali!” 7 orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung mereka itu. Mengertilah mereka yang datang ini memiliki aura dan tenaga dalaman yang amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan untuk menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Anak Ajaib yang masih duduk bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan masing-masing melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah lelaki gagah yang baru muncul itu. Namun, tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengenalnya, ketujuh orang itu menjadi amat marah.

Aug 11, 2010

Tok Keramat

Bab 1 . Anak Ajaib

Pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng Gunung Seribu Bunga. Matahari muda memuntahkan cahaya kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk. Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan, penghidupan itu mengusir kabus tebal, dan kabus lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu, meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias hujung-hujung daun dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri.

Cahaya matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah daun dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, di sana sini bertemu dengan pantulan air membentuk warna pelangi yang amat indah, warna yang dibentuk oleh segala macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah. Bagi mata yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa, keindahan yang baru dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun andaikata dilihatnya setiap hari.

Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi tampak, keadaan sunyi sepi. Yang mula-mula membangunkan hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring, kokok yang tiba-tiba dan mengejutkan, susul menyusul dari beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka, kini terjadilah gerakan-gerakan hidupan di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam nadanya, bersaing indah dan meriah namun kesemuanya memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, kerana suara yang bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama.

Yang ada pada telinga hanya indah. Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri ataukan keheningan kosong yang terdapat di antara jarak suara-suara itu. Anak lelaki itu masih amat kecil. Tidak akan lebih dari 7 tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga itu, mengadap ke timur dan sudah setengah jam lebih dia berdiri seperti itu, hanya matanya saja yang bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara kedua alisnya. Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biarpun bersih seperti bersih tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak lain dan membuat dia menjadi seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.

Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan ketika dia melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur, bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda yang tak kuat lagi mata memandangnya kerana cahaya yang makin menguning dan berkilauan. Dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung.

Anak itu lalu menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan kiri kerana selama ini dia tahu di pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuah batu dan duduk bersila, mengadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya bersilang dan nafasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti pernafasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari duduk sambil mandi cahaya matahari selama 2 3 jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah dia berhenti. Juga di waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat, mandi cahaya bulan purnama selama 7 malam, kadang-kadang sampai lupa diri dan duduk bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik puncak barat.

Anak yang luar biasa. Memang. Demikian pula penduduk di sekitar Pergunungan Seribu Bunga menggelarnya Anak Ajaib, demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti dan lain-lain sebutan lagi. Kerana semua orang menyebutnya Anak Ajaib dan memang dia sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, anak itu sudah menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Anak Ajaib.

Mengapakah penghuni desa di sekitar lereng dan kaki Gunung Seribu Bunga menyebutnya anak ajaib? Sewaktu berusia 7 tahun itu, budak ini pandai mengubati penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah dan akar-akar ubat yang benar-benar mujarab sekali. Hampir semua penduduk yang terkena penyakit datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, hutan di mana anak itu tinggal kerana di antara sekalian hutan di pergunungan Seribu Bunga, hutan inilah yang benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga dengan tumbuhan beraneka warna, bunga-bunga indah, terutama sekali pada musim bunga. Dan anak ini memberi daun atau akar ubat dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan selalu menolak kalau diberi wang. Berduyun-duyun orang desa datang kepadanya dan diam-diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai dewa yang menjelma menjadi seorang anak-anak yang menolong desa-desa itu dari malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, budak ajaib inilah yang membasminya dengan memberi akar-akar tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan.

Ketika orang-orang desa itu, terutama yang wanita, datang membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak dan menyatakan terimakasihnya dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kerana jasa orang-orang desa ini, anak itu selalu berpakaian sederhana, potongan ‘desa’.

Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun dari kayangan menjadi seorang budak untuk menolong manusia, seperti kepercayaan para penduduk di Pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat Lama yang dianggap sebagai Sang Buddha sendiri yang ‘menjelma’ menjadi anak-anak dan menjadi calon Lama. Sebetulnya tentu saja tidak seperti tahyul yang dipercayai oleh orang-orang yang memang suka akan tahyul dan suka akan yang sesuatu yang ajaib. Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari keluarga Kwa di kota Kunleng, sebuah kota kecil di sebelah timur pergunungan Gunung Seribu Bunga. Dia bernama Kwa Sinliong, dan nama Sinliong (Naga Sakti) ini diberikan kepadanya kerana ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor naga beterbangan di angkasa diantara awan-awan. Adapun ayah Sinliong adalah seorang pedagang ubat yang cukup kaya di kota Kunleng.

Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini ketika malam hari 3 orang pencuri memasuki rumah mereka. Mulanya 3 orang penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, tetapi ketika mereka memasuki kamar ayah dan ibu Sinliong menghalang mereka. Kerana khuatir dikenali, 3 orang itu lalu membunuh ayah bonda Sinliong dengan tetakan-tetakan golok. Ketika itu Sinliong baru berusia 5 tahun dan di tempat remang-remang itu melihat betapa ayah bondanya dihujani tetakan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak. Sinliong seperti berubah menjadi bisu kerana ngeri dan takut, matanya melotot dan dia tidak dapat mengeluarkan suara. Kerana ini, 3 orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang berharga dan mereka itu juga panik, ingin lekas-lekas pergi kerana mereka telah terpaksa membunuh tuan dan puan rumah.

Setelah para penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sinliong dapat menjerit sekuat tenaganya sehingga malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua lelaki berlari keluar dan melihat 3 orang yang tidak dikenali keluar dari rumah keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar, segera terdengar teriakan "pencuri..pencuri!" dan orang-orang itu mengurung 3 penjahat ini. Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa dan betapa terkejut hati mereka melihat suami-isteri itu tewas dalam keadaan mandi darah, sedangkan Sinliong menangisi kedua orang tuanya, memeluki mereka sehingga muka, tangan dan pakaian anak itu penuh dengan darah ayah bondanya.

"Pembunuh. Mereka membunuh keluarga Kwa!" Orang yang menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari keluar dan berteriak-teriak. "Manusia kejam. Tangkap mereka!" "Tidak. Bunuh saja mereka!" "Tubuh suami-istri Kwa hancur mereka cincang!" "Bunuh!" "Serbu!" Dan terjadilah pergomolan atau pertandingan yang berat sebelah. 3 orang itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan tetapi mereka itu pencuri-pencuri biasa, mana mampu menahan serbuan puluhan bahkan ratusan orang yang sedang marah.

Anak lelaki itu, ketika pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, keluar dari dalam, dengan mukanya, kedua tangannya dan pakaiannya juga penuh darah, melangkah keluar seperti dalam mimpi, mukanya pucat dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang penuh kengerian. Dia berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli 3 orang pencuri tadi, para pembunuh ayah bondanya. Terdengar olehnya betapa pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh, merintih-rintih, minta-minta ampun dan terdengar pula “bak-bik-buk” ketika kaki tangan dan senjata menghentami mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, ditetak, dihentam dan darah memancut-mancut. Tubuh 3 orang itu berkelojotan, suara yang aneh keluar dari tenggorok mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah itu, yang menganggap apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja menghentam 3 manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya longgokan daging-daging hancur dan tulang-tulang patah.

Ketika semua orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka, menghentikan pengeroyokan terhadap 3 mayat itu dan mereka memasuki rumah keluarga Kwa, Sinliong tidak berada disitu. Kiranya budak ini, yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah bondanya ditetaki dan dibunuh, ketika melihat 3 orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah orang-orang itu semua seperti wajah iblis, dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian dan dendam, penuh nafsu membunuh, dengan dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis, sambil menangis tersedu-sedu Sinliong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kunleng, terus berlari ke arah pergunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang baring, seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu.

Seperti orang kehilangan ingatan, semalaman itu Sinliong terus berlari sampai pada keesokannya, akibat kelelahan, dia tersaruk-saruk di kaki pergunungan Seribu Bunga, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun lagi dan lari lagi, terhuyung-hayang dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pengsan di dalam sebuah hutan di lereng bahagian bawah pergunungan Seribu Bunga.

Setelah sedar, anak kecil berusia 5 tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga kerana kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pergunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit supaya dia tidak kelaparan. Di dalam hutan seribu bunga itu Sinliong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain. TEMPAT yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis ketakutan dan kengerian. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah bondanya, yang memaksa ayah bondanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa 3 orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang menyejukkan perasaannya.

Mula-mula Sinliong tidak mempunyai niat untuk kembali ke kotanya kerana dia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah bondanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat 3 orang pencuri yang rosak hancur. Ketika dia tiba di hutan Gunung Seribu Bunga itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang airnya keluar dari sumber, jernih dan amat sejuk. Mula-mula memang dia tidak ingin pulang kerana kengerian hatinya, akan tetapi setelah 2..3 bulan ‘bersembunyi’ di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali kerana dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru. Dekat pohon beringin yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan baginya.

Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis licin sama sekali. Dengan alasan ‘mengamankan’ barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan 3 orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak ‘sekasar’ yang dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan ‘sahabat’ ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh 3 orang pencuri dahulu itu, kerana para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan mereka itu adalah pencuri, tidak berselubung apa-apa dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu si pemilik sedang lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan topeng ‘menolong’ sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat seperti si pencuri biasa kerana mengambil dan menghaki milik orang lain, ke 2 jahat kerana telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung ‘kebaikan’.

Demikianlah sampai 2 tahun lamanya anak berusia 5 tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli perubatan, biarpun ketika usianya baru 5 tahun, sedikit sebanyak Sinliong tahu akan daun-daun dan akar ubat, bahkan sering dia ikuti ayahnya mencari daun-daun ubat di gunung-ganang. Setelah kini dia hidup seorang diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu perubatan mendapat ujian dan pemupukan secara alami. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya. Selama 2 tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih daun-daun dan akar-akar ubat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari pengalaman.

Mungkin kerana tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar serta buah dan bunga yang mangandung ubat ini sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar ubat. Dengan menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat daun dan akar ubat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga, buah ataupun akar. Tidak kelirulah kata-kata orang bahawa pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati Sinliong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu.

Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan seharian akan tetapi juga untuk perubatan, Sinliong mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul kerana dia merasa hidup sebatangkara dan juga timbul kerana melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan 3 orang pencuri itu tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah dan tidak pernah melihat kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberitahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga ajaib dari bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya.

Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang-kadang dadanya, Sinliong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan saputangan lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar ubat dari dalam gua untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat. Menjelang tengahari, mulailah berdatangan penduduk yang memerlukan ubat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang perkungfuan yang kasar dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sinliong memberikan ubatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita. Lebih dari 15 orang datang berturut-turut minta ubat dan yang datang terakhir adalah seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi besar, dibelakangnya tergantung golok dan dia datang terpincang-pincang kerana pahanya terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam.

"Anak Ajaib, kau tolonglah aku." Begitu tiba di depan gua di mana Sinliong duduk dan memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, lelaki bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan. Sinliong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta perubatan, dia paling tidak suka melihat orang perkungfuan yang dapat dikenali dari sikap kasar dan senjata yang selalu mereka bawa. Namun, belum pernah dia menolak untuk mengubati mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhandan saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani kerana tidak mengenali apa artinya ketenteraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.

"Orang tua, bukankah 2 bulan yang lalu kau pernah datang dan minta ubat kerana luka di lengan kirimu yang keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu. "Benar, benar sekali, Anak Ajaib. Aku adalah Harimau Kumbang Sakti yang dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang, aku menderita luka lebih parah lagi. Pahaku tertetak pedang lawan dan celakanya, pedang itu mengandung racun yang amat hebat. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan mati, Anak Ajaib." Sinliong tidak berkata apa-apa lagi, menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka mengangga di balik celana yang ikut terobek. Luka yang lebar dan dalam, luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, seluruh kaki terasa panas tanda keracunan hebat.

Sinliong menarik nafas panjang. "Tok gagah, mengapa engkau masih saja bertempur dengan orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau datang ke sini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan orang lain?" Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil berusia 7 tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah seorang datuk yang menjadi pertapa dan hidup suci.

"Anak Ajaib, aku adalah Harimau Kumbang Sakti, dan jangan kau menyebut Tok gagah kepadaku. Mengertikah kau, aku adalah seorang perompak? Seorang perompak tunggal yang mengandalkan hidup dari merompak orang lewat. Kalau aku tidak perlu barang, aku tentu tidak akan menganggu orang dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, 2 kali aku keliru menilai orang. Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah dan akibatnya lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merompak seorang datuk yang kelihatan lemah, yang membawa barang berharga dan akibatnya pahaku hampir kudung dan kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterimakasih kepadamu, Anak Ajaib dan akan mengkhabarkan sesuatu yang amat penting bagimu".

"Tok gagah, aku tidak memerlukan terimakasih dan balasan. Aku mengenal khasiat tumbuhan di sini yang tumbuh begitu saja mempersilakan siapapun juga yang mengerti untuk memetik dan menggunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa aku minta terimakasih dan balasan? Lukamu ini hebat seluruh kaki sudah panas, berarti darahmu telah keracunan. Untuk mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diubati, tidak seperti sekarang ini ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka lukamu itu, tok gagah?" Orang setengah tua itu membelalakan mata dan kembali dia kagum mendengar cara budak itu bicara, akan tetapi kehairanannya lenyap ketika dia teringat budak ini adalah Anak Ajaib. Dia lalu menghunus goloknya dan melihat berkelebatnya sinar golok, Sinliong memejamkan matanya. Terbayang kembali 3 bilah golok yang memtetaki tubuh ayah bondanya, dan banyak golok yang kemudian memetaki tubuh 3 orang pencuri itu.

Harimau Kumbang Sakti menggunakan ujung goloknya untuk menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan siksaan rasa nyeri yang hebat, Harimau Kumbang Sakti melemparkan goloknya dan menggunakan kedua tangannya memicit-micit paha yang terasa nyeri itu. Sinliong berlutut, menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memicit sehingga darah makin banyak keluar. Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah. Tetapi Sinliong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa hiba yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu dengan perasaan makin terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini, hanya demikian bisikan hatinya. Dia lalu mengambil serbuk akar tertentu, menabur serbuk itu ke dalam luka yang mengangga.

"Aduh..mati aku!" Si tua itu berseru keras ketika merasa betapa ubat itu mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor lebah menyengat-nyengat bahagian yang terluka itu. "Harap kau bertahan, tok gagah sebentar juga akan hilang rasa nyerinya. Jangan lawan rasa nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan ketahuilah serbuk itu adalah ubat yang akan mengusir penyakit ini." Sambil berkata demikian, Sinliong lalu menggunakan 4 helai daun yang sudah diramas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya luka itu dengan 4 helai daun. Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan tanda bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik nafas panjang kerana rasa nyerinya kini dapat ditahannya.

"Harap tok gagah membawa akar ini, dimasak dan airnya diminum. Khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu. Dengan demikian luka itu tidak akan membusuk dan akan lekas sembuh. Ubat serbuk dan daun-daun ini untuk mengganti ubat setiap hari sekali, kiranya cukup untuk sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sinliong berkata sambil membungkus ubat-ubat itu dengan sehelai daun yang lebar dan menyerahkannya kepada Harimau Kumbang Sakti. Orang kasar itu menerima bungkusan ubat dan kembali menghela nafas panjang. "Kalau saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau, kiranya aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terimakasih, Anak Ajaib dan aku tidak dapat membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau terancam bahaya besar".

Sinliong mengangkat muka memandang wajah berkulit hitam itu dengan hairan. "Anak Ajaib, dunia perkungfuan telah gegar dengan namamu. Orang-orang perkungfuan, termasuk aku yang telah menerima pengubatanmu, membawa namamu ke dunia perkungfuan dan terjadilah gegar kerana nama Anak Ajaib menjadi bunga bibir setiap orang perkungfuan. Banyak kumpulan besar tertarik hatinya, menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini telah banyak kumpulan dan orang-orang gagah yang siap untuk datang ke sini dan untuk memujukmu menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-orang perkungfuan yang terkenal. Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang manusia iblis yang lain pula maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan kumpulan perkungfuan, melainkan maksud keji terhadap dirimu."

Sinliong mengerutkan alisnya, sedikitpun dia tidak merasa takut kerana memang dia tidak mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia ini. "Tok gagah, aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun juga. Siapa orangnya yang akan menggangguku?" Datuk itu memandang terharu. "Ahh..kau benar-benar seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya kerana 2 kali kau menolongku, melainkan kerana tidak rela aku melihat orang mau merosak seorang budak ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang iblis itu..." Harimau Kumbang Sakti menggiggil dan kelihatan jerih sekali.

"Siapakah mereka dan apa yang mereka kehendaki dari aku?" "Di dunia perkungfuan, banyak terdapat golongan sesat, manusia-manusia iblis termasuk orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan 2 orang yang kumaksudkan itu, mereka adalah 2 ekor harimau buas sedangkan orang seperti aku hanyalah seekor tikus. Yang seorang adalah tua berpakaian pengemis, kelihatan seperti orang miskin yang alim, namun dialah iblis nombor satu, ketua Kumpulan Pengemis 8 Lengan, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa dan alim menyembunyikan wataknya yang kejam melebihi iblis sendiri. Celakalah engkau kalau sudah berada di tangan datuk ini Anak Ajaib." "Hmm, kurasa seorang tua seperti dia tidak memerlukan seorang anak kecil seperti aku. Aku tidak khuatir dia akan mengangguku, tok gagah!"

"Tidak aneh kalau kau berpendapat demikian, kerana kau seorang anak ajaib yang berhati dan berfikiran polos dan murni. Akan tetapi aku khuatir sekali, apa lagi iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita cantik dan tak ada yang tahu berapa usianya. Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum dan selalu membawa sebuah payung, kelihatannya lemah dan memerlukan perlindungan. Akan tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan lemah-lembutnya itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam daripada iblis sendiri." "Tok gagah, harap saja tok gagah tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. itu tidak baik." Tua itu menarik nafas panjang lalu bangkit berdiri.

"Aku sudah memberi peringatan kepadamu Anak Ajaib. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut aku bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu. Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali ke sini. Aku mendengar berita angin bahwa 2 iblis itu sedang menuju ke Gunung Seribu Bunga mencarimu." Namun Sinliong menggeleng kepala "Aku diperlukan oleh penduduk desa daerah sini, aku tidak pergi kemana-mana, tok gagah." "Hmm, sudahlah. Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-benar tidak terjadi seperti yang kukhuatirkan. Dan lebih-lebih lagi mudah-mudahan aku tidak akan terluka lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah tidak berada lagi di sini, aku payah mencari ubat. Selamat tinggal, Anak Ajaib dan sekali lagi terimakasih." "Selamat jalan, Tok gagah, semoga lekas sembuh."

Orang itu berjalan menyeret kakinya yang terluka, baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata, "Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi, Anak Ajaib?" Sinliong tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab. "Anak Ajaib, siapakah namamu yang sesungguhnya?" "Aku disebut Anak Ajaib, biarpun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak dapat menolak sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Anak Ajaib, itulah namaku." Harimau Kumbang Sakti menggeleng kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-geleng dan mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak ajaib..sayang.” Dan dia mengepal tinju, seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu budak yang dikaguminya itu.

Beberapa hari kemudian semenjak Harimau Kumbang Sakti datang minta ubat kepada Sinliong, makin ramailah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang gegar di dunia perkungfuan tentang dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengari oleh Sinliong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang didengarnya itu.

Beberapa pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki pergunungan Seribu Bunga tampak berjalan seorang tua seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah menikmati pemandangan alam sekitar tempat itu. Tua ini usianya tentu sudah 60an tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tampalan dan wajahnya membayangkan kesabaran dan mulut yang rompong itu bahkan selalu menyungging senyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di kaki Gunung Seribu Bunga, langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat yang berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupnya serba kekurangan namun dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa kurang, bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan hatinya selalu senang.

Buktinya ketika dia mendengar kicau burung-burung, datuk ini membuka mulutnya dan bernyanyi pula. Tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang yang mendegarnya mengerutkan kening, kerana selain aneh, juga menyimpang dari ajaran kebatinan umumnya.

Apa artinya hidup
kalau hati tak senang?
Apa artinya hidup
Kalau segala keinginan tak terpenuhi?
Puluhan tahun mempelajari ilmu
Bekal memenuhi segala kehendak
Berenang dalam lautan kesenangan
Matipun tidak penasaran

Berkali-kali pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan cukup merdu dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu keras, ujung tongkat itu tentu membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu buruk itu sendiri tidak meninggalkan jejak biarpun menginjak tanah basah, seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi tongkat itu membuat jejak jelas kerana setiap kali melubangi tanah maupun batu. Beberapa minit kemudian setelah datuk aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang, juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu.

Mereka itu terdiri dari 12 orang lelaki dari usia 30 sampai 40 tahun dan seorang wanita berusia 25 tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang ramping. 12 orang lelaki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka jelas menunjukkan mereka adalah ahli-ahli kungfu, sedangkan gerakan mereka yang ringan lincah membuktikan mereka bukanlah sembarangan orang perkungfuan melainkan rombongan orang gagah yang berilmu. Mereka itulah yang terkenal dengan julukan 13 Pendekar Sakti murid-murid utama dari kumpulan besar Wudang. "Tahan dulu, para abang!" Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan para abangnya, kemudian dia menuding ke bawah dan berkata, "Lihat ini."

13 orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu berlubang. "Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut. "Tenaga tusukan tongkat yang hebat" kata seorang. "Dan jejak kakinya tidak tampak, tak salah lagi, Raja Pengemis 8 Lengan, tentu telah lewat di sini, dan baru saja. Ayuh cepat kita mengejarnya. Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang tertua di antara mereka, seorang berusia 40 tahun yang bermuka seperti harimau.

Kerana kini merasa yakin jejak lubang-lubang itu tentu terbuat oleh tongkat Raja Pengemis 8 Lengan, 13 orang tokoh Wudang itu mencabut senjata masing-masing dan tampaklah berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika 13 orang itu mengerahkan meringan badan mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama kemudian terdengarlah oleh mereka bunyi nyanyian pengemis tua tadi. 13 orang ini memperlambat larinya dan satu-satunya wanita di antara mereka mengomel lirih, "Hmm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi iblis sendiri!"

"Sstt, adik, terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu, Wudang tidak pernah bermusuhan dengan tokoh perkungfuan yang manapun juga, tidak pula mencampuri urusan mereka. Biarlah nanti kita bertanya dia secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa, lebih baik kita menghindarkan pertempuran." Kata abang seperguruan tertua mereka. Semua adiknya mengangguk, akan tetapi adik perempuannya mengomel, "Siapakah yang takut kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya. Memang gadis yang bernama The Kwatlin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang ilmu pedangnya hebat tidaklah menghairankan apabila dia terhitung seorang di antara 13 Pendekar Sakti yang terkenal di dunia perkungfuan.

"Adik, kita harus mentaati perintah guru, agar tidak membawa Wudang menanam bibit permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun kaum sesat. Kerana itu, dalam pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian semua." Kerana maklum dia tidak boleh melanggar perintah gurunya dan abangnya ini selain paling hebat juga merupakan seorang yang mewakili guru mereka, Kwatlin mengangguk biarpun bibirnya yang merah tetap muncung tidak puas kerana melihat sikap jerih yang diperlihatkan para abangnya. 13 Pendekar Sakti mempunyai nama besar di dunia perkungfuan, disegani kawan ditakuti lawan, sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja kelihatan gentar?

Suara nyanyian itu makin keras, tanda jarak di antara mereka dengan datuk itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, 13 orang pendekar Wudang itu dan dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh mereka, dari kanan kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri mengadap di depan datuk pengemis dengan sikap megah dan gagah. Pengemis tua itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Kwatlin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya. Setelah nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh-eh, apakah kalian ini serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku seorang pengemis tidak mempunyai wang untuk membayar upah kalian."

"Harap tuan tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa tuan adalah ketua Kumpulan Pengemis 8 Lengan yang terhormat. Tuan adalah tokoh terkenal yang berjuluk Raja Pengemis 8 Lengan, bukan?" Tua yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu tersenyum, juga simpati dan ramah. 13 pendekar Wudang itu yang hanya baru mengenal nama datuk sakti kaum sesat ini, diam-diam merasa hairan bahkan sangsi apakah benar mereka berhadapan dengan Raja Pengemis 8 Lengan yang khabarnya kejamnya seperti iblis, kerana datuk ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah. "Ha..ha..ha, sungguh sukar zaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri. Orang-orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, biarpun belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan cantik, dia memandang Kwatlin lagi dengan kagum, "Tidak keliru dugaan kalian aku adalah Raja Pengemis 8 Lengan, seorang pengemis tua yang hanya memiliki sebatang tongkat buruk ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian menghadang perjalananku?"

"Kami adalah 13 Pendekar Sakti Wudang!" kata Kwatlin dan kerana sudah terlanjur, percuma saja abangnya mencegahnya dengan pandang matanya. "Benar, kami adalah murid-murid Wudang," kata abang itu dengan hati tidak enak kerana adiknya yang lancang itu ternyata telah membuka kartu dan mengaku mereka dari Wudang, berarti membawa nama perkumpulan mereka. "Ha..ha..ha, bagus. Memang Wudang mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang khabar yang kudengar. Kalau tidak salah, aku tidak pernah berurusan dengan Wudang." Melihat sikap datuk itu masih ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermusuh, si abang itu menjadi makin tidak enak. Dia maklum orang macam apa adanya datuk di depannya ini, dan betapa Anak Ajaib yang mereka dengar sudah menolong manusia dengan pengetahuan yang tepat mengenai khasiat herba yang mengandung ubat, tetap saja dia merasa khuatir akan keselamatan Anak Ajaib itu kalau sampai datuk datuk sesat ini bertemu dengan anak itu.

"Apa yang tuan katakan memang benar. Di antara tuan dengan Wudang, tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Wudang juga tidak berniat untuk menganggu tuan yang terhormat. Hanya kami mendengar berita di antara banyak tokoh perkungfuan, tuan juga berminat kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Anak Ajaib dan yang berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah tuan sekarang sedang menuju ke hutan itu?" Mulai berubah wajah tua itu mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi sepasang matanya yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembiraannya dan berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua.

"Hmm, orang-orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi Anak Ajaib, kalian mau apa?" 13 orang anak murid Wudang itu sudah dapat ‘mencium’ keadaan yang membuat mereka semua siap siaga. Mereka melihat tua yang kelihatannya halus budi itu dan ramah ini mulai memperlihatkan ‘tanduknya’ atau watak sebenar. "Tuan, kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada tuan agar tidak mengganggu Anak Ajaib." "Apa hak kamu akan budak itu?" "Bukan apa-apa, tuan. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu tanpa minta balasan, sudahlah menjadi kewajiban semua orang di dunia perkungfuan untuk menjaga keselamatannya." Makin nampak perubahan hebat pada diri tua itu. Kini senyumnya lenyap dan mulutnya menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah kaku, ketus dan memandang rendah.

"Anak-anak kurang ajar. Apakah si tua bangka Rahib Kuibho yang mengutus kalian?" "Guru kami tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan mendengar akan Anak Ajaib yang terancam bahaya, kami melihat tuan lalu sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau tuan tidak menghendaki Anak Ajaib, kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya." "Aku memang menuju ke Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka aku akan mencelakai Anak Ajaib?" 13 pendekar Wudang itu makin tegang. Tua ini sudah mulai berterus terang, tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula. "Siapa yang tidak mendengar bahwa Raja Pengemis 8 Lengan sedang menyempurnakan ilmu iblis yang disebut Tangan Darah Hitam?" Tiba-tiba Kwatlin berseru sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka datuk itu. Para abangnya terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan memang dalam hati mereka terkandung tuduhan ini.

Ilmu Tangan Darah Hitam adalah semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat kerana ilmu ini memerlukan syarat yang amat keji, iaitu menghimpun kekuatan hitam dengan jalan menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih bersih darahnya. Tentu saja bagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis ini, Anak Ajaib mempunyai daya tarik yang luar biasa, kerana darah, otak dan sumsum seorang budak seperti Anak Ajaib yang ajaib, lebih berharga dari darah, otak dan sumsum puluhan orang budak biasa lainnya.

Tiba-tiba si tua itu tertawa lebar. "Hah..hah hah..hah, memang benar. Satu-satunya budak yang akan menyempurnakan ilmuku itu adalah Anak Ajaib. Aku bukan hanya suka minum dan menghisap darah, otak dan sumsum budak yang bersih, juga aku suka bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, cik manis." "Singg..Singg!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika 13 bilah pedang itu bergerak secara serentak dan 13 orang pendekar itu telah mengurung si tua yang masih tertawa-tawa. "Heh-heh, kalian mau cuba-cuba main-main dengan Raja Pengemis 8 Lengan? Sayang kalian masih muda-muda harus mati, kecuali adik manis. Andaikata si tua bangka Rahib Kuibhok berada di sini sekalipun, dia juga tentu akan berani menentang Raja Pengemis 8 Lengan." "Serbu dan basmi iblis ini!" si abang itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat.

Tiba-tiba datuk itu mengeluarkan pekikan yang dahsyat, disusul dengan suara tertawa menyeramkan. Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehingga terdengar suara ketawa menjawabnya dari semua penjuru, seolah-olah semua setan dan iblis penjaga hutan telah datang oleh panggilan datuk itu. Hebatnya, pekik dan tertawa itu membuat 13 orang pendekar itu seketika seperti berubah menjadi arca, gerakan mereka terhenti dan untuk beberapa detik mereka hanya bengong memandang datuk itu dan jantung mereka seolah-olah berhenti berdenyut. Si abang mereka yang bermuka gagah perkasa itu segera berseru, "Awas. Auman Singa!" Seruan ini menyadarkan para adiknya. Mereka cepat mengerahkan aura sehingga pengaruh Auman Singa itu menghilang. Pedang mereka melanjutkan gerakannya.

"Sing-sing..siuut trang-trang-trang heh-heh-heh!" Gulungan sinar pedang-pedang yang menyambar ke arah tubuh si tua dari berbagai jurusan, dapat ditangkis oleh gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar dengan cepatnya oleh Raja Pengemis 8 Lengan. Para pendekar Wudang itu terkejut ketika merasakan betapa telapak tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis tongkat. Hal ini menandakan si tua benar-benar amat hebat dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Tongkatnya juga yang kelihatan buruk dan hitam itu ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman pedang di tangan mereka, padahal semua pedang di tangan 13 Pendekar Sakti adalah pedang-pedang pusaka yang ampuh. "Ha..ha..ha, inikah Senipedang 5 Unsur dari Wudang yang terkenal? Ha..ha, tidak seberapa!" Sambil menggerakan tongkatnya menangkis setiap sinar pedang yang meluncur datang, datuk itu tertawa dan mengejek.

"Bentuk Barisan Pedang Sakti!" Teriak si abang melihat betapa tua itu benar-benar amat kuat sehingga semua serangan pedang mereka dapat ditangkis dengan mudahnya. Tiba-tiba 13 orang pendekar itu merubah gerakan mereka, kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung dan mengelilingi tua itu, sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang susul menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu. Diam-diam tua itu terkejut. Sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan tertentu, biarpun gerakan mereka tadi berdasarkan Senipedang 5 Unsur, namun dia sudah dapat mengenal dasar Senipedang 5 Unsur dan dapat menggerakkan tongkat secara otomatis untuk menangkis semua pedang yang datang menyambar. Tetapi sekarang, sukar dia menentukan dari mana serangan akan datang, dan gerakan mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing.

Marahlah Raja Pengemis 8 Lengan. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Wudang dan memperhatikan para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Setelah mereka menggunakan Barisan Pedang Sakti dia tahu kalau dia tidak cepat mendahului mereka, dia akan terancam bahaya. Tidak disangkanya si tua bangka Rahib Kuibhok, ketua Wudang dapat menciptakan barisan pedang yang demikian hebatnya. Tiba-tiba terjadi perubahan pada diri datuk ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah darah. "Hati-hati terhadap Tangan Darah Hitam!" Si abang berseru keras ketika melihat perubahan warna tangan kiri datuk itu. Raja Pengemis 8 Lengan tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat daripada tadi dan tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi tangan kiri merah itu mendorong ke depan.

"Prak-prak...dess!" 3 orang pengeroyok menjerit dan roboh, 2 orang dengan kepala pecah oleh tongkat, sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Tangan Darah Hitam, roboh dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas 5 jari merah seperti terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Tangan Darah Hitam, pukulan maut yang mengerikan. Padahal ilmu itu masih belum sempurna, betapa hebatnya kalau tua ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum seorang budak ajaib seperti Anak Ajaib. 10 pendekar Wudang terkejut dan amat marah. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat dan penuh dendam. Namun kembali Raja Pengemis 8 Lengan memekik dahsyat sambil bergerak menyerang dan kembali 3 orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk membebaskan diri. 4 kali terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan akibatnya, 12 orang diantara 13 Pendekar Sakti dari Wudang itu tewas semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup tinggal The Kwatlin seorang.

Hal ini memang disengaja oleh Raja Pengemis 8 Lengan dan kini sambil tersenyum mengejek dia mengadapi Kwatlin. Betapa perasaan dara itu melihat 12 orang abangnya telah tewas semua. 12 orang abangnya yang selama ini berjuang sehidup semati dengannya, kini telah menjadi mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seolah-olah mayat 12 orang itu mengurung dia dan Raja Pengemis 8 Lengan yang berdiri tersenyum di depannya. "Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kwatlin berseru mengandung isak tertahan. "Haiit!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap. Namun dengan gerakan seenaknya tua itu memukulkan tongkatnya dari samping menghantam pedang yang menusuknya.

"Krekk!" Pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwatlin. Dara itu membelalakan matanya dan melihat pandang mata tua itu kepadanya, melihat senyum yang baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan melayang ke arah sebatang pohon besar, dengan niat untuk membenturkan kepalanya pecah pada batang pohon itu. Kwatlin melihat ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri, setelah yakin dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon.

"Bukk!" Bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut lunak dan tubuhnya berada dalam pelukan Raja Pengemis 8 Lengan yang entah bila telah berada di situ menghadangnya di depan pohon. "Lepaskan aku.” Kwatlin berteriak dan tubuhnya tiba-tiba dilontarkan oleh datuk itu, jauh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat abangnya. Dengan langkah longlai, tua itu tersenyum memasuki lingkaran dan melangkahi mayat bekas para penggeroyoknya, menghampiri Kwatlin yang sudah duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor arnab muda ketakutan mengadapi seekor harimau yang siap menerkamnya.

Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwatlin cepat menggerakan tangan kanannya, dengan 2 buah jari tangan dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri sambil mengerahkan aura. Batu karang saja akan berlubang terkena tusukan jari tangannya seperti itu apa lagi ubun-ubun kepalanya. "Plakk!" "Aihh!" Kwatlin menjerit ketika tangannya itu tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata tua itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh diri. "Brett..brett" Tongkat tua itu bergerak beberapa kali dan seperti disilap mata saja seluruh pakaian yang membungkus tubuh Kwatlin cabik-cabik dan cerai-berai, membuatnya menjadi telanjang bulat sama sekali. Kwatlin menjerit akan tetapi tiba-tiba, seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, tua itu telah menerkam dan memeluknya sehingga mereka berdua bergulingan di atas rumput yang bernoda darah para korban keganasan tua itu.

Kwatlin melawan sekuat tenaga, namun sia-sia belaka. Untuk membunuh diri tidak ada jalan baginya, untuk melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan permohonan, semua usahanya meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan semua usaha ini malah menyenangkan hati si tua. Seolah-olah seekor kucing yang menjadi gembira dapat mempermainkan seekor tikus yang telah tersudut dan tidak berdaya, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum menjadi mangsanya. Selama 3 hari 3 malam Kwatlin menderita siksaan yang amat hebat. Diperkosa, dihina, diejek. Pada hari ketiga, pagi-pagi dalam keadaan lebih banyak yang mati daripada yang hidup, dalam keadaan setengah sedar, rebah terlentang tak mampu bergerak, hanya matanya saja yang mendelik memandang tua itu. Kwatlin melihat tua itu mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memandang kepadanya yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di atas rumput berdarah.

"Ha-ha-ha, sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri, silakan. Ha-ha-ha!" Biarpun Kwatlin berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati kerana lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu dalam benaknya, namun kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untuk berseru, "Jahanam, sekarang aku harus hidup. Aku harus hidup untuk melihat engkau mampus di tanganku!" "Ha..ha..ha..ha. Kalau sewaktu-waktu kau merasa rindu kepadaku, manis, datang saja ke Gunung Hong, sampai jumpa.” Tua itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu meninggalkan Kwat-Lin yang masih rebah dan kini wanita yang bernasib malang ini menangis sesenggukan dia antara mayat-mayat 12 abangnya yang sudah mulai membusuk dan berbau.

Betapa tersiksa rasa badan wanita muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara mayat-mayat 12 abangnya, bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan bau yang hampir tak tertahankan, tua itu masih saja enak-enak mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam melebihi iblis sendiri.