Aug 11, 2010

Tok Keramat

Bab 1 . Anak Ajaib

Pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng Gunung Seribu Bunga. Matahari muda memuntahkan cahaya kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk. Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan, penghidupan itu mengusir kabus tebal, dan kabus lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu, meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias hujung-hujung daun dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri.

Cahaya matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah daun dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, di sana sini bertemu dengan pantulan air membentuk warna pelangi yang amat indah, warna yang dibentuk oleh segala macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah. Bagi mata yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa, keindahan yang baru dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun andaikata dilihatnya setiap hari.

Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi tampak, keadaan sunyi sepi. Yang mula-mula membangunkan hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring, kokok yang tiba-tiba dan mengejutkan, susul menyusul dari beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka, kini terjadilah gerakan-gerakan hidupan di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam nadanya, bersaing indah dan meriah namun kesemuanya memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, kerana suara yang bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama.

Yang ada pada telinga hanya indah. Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri ataukan keheningan kosong yang terdapat di antara jarak suara-suara itu. Anak lelaki itu masih amat kecil. Tidak akan lebih dari 7 tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga itu, mengadap ke timur dan sudah setengah jam lebih dia berdiri seperti itu, hanya matanya saja yang bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara kedua alisnya. Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biarpun bersih seperti bersih tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak lain dan membuat dia menjadi seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.

Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan ketika dia melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur, bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda yang tak kuat lagi mata memandangnya kerana cahaya yang makin menguning dan berkilauan. Dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung.

Anak itu lalu menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan kiri kerana selama ini dia tahu di pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuah batu dan duduk bersila, mengadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya bersilang dan nafasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti pernafasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari duduk sambil mandi cahaya matahari selama 2 3 jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah dia berhenti. Juga di waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat, mandi cahaya bulan purnama selama 7 malam, kadang-kadang sampai lupa diri dan duduk bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik puncak barat.

Anak yang luar biasa. Memang. Demikian pula penduduk di sekitar Pergunungan Seribu Bunga menggelarnya Anak Ajaib, demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti dan lain-lain sebutan lagi. Kerana semua orang menyebutnya Anak Ajaib dan memang dia sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, anak itu sudah menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Anak Ajaib.

Mengapakah penghuni desa di sekitar lereng dan kaki Gunung Seribu Bunga menyebutnya anak ajaib? Sewaktu berusia 7 tahun itu, budak ini pandai mengubati penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah dan akar-akar ubat yang benar-benar mujarab sekali. Hampir semua penduduk yang terkena penyakit datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, hutan di mana anak itu tinggal kerana di antara sekalian hutan di pergunungan Seribu Bunga, hutan inilah yang benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga dengan tumbuhan beraneka warna, bunga-bunga indah, terutama sekali pada musim bunga. Dan anak ini memberi daun atau akar ubat dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan selalu menolak kalau diberi wang. Berduyun-duyun orang desa datang kepadanya dan diam-diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai dewa yang menjelma menjadi seorang anak-anak yang menolong desa-desa itu dari malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, budak ajaib inilah yang membasminya dengan memberi akar-akar tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan.

Ketika orang-orang desa itu, terutama yang wanita, datang membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak dan menyatakan terimakasihnya dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kerana jasa orang-orang desa ini, anak itu selalu berpakaian sederhana, potongan ‘desa’.

Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun dari kayangan menjadi seorang budak untuk menolong manusia, seperti kepercayaan para penduduk di Pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat Lama yang dianggap sebagai Sang Buddha sendiri yang ‘menjelma’ menjadi anak-anak dan menjadi calon Lama. Sebetulnya tentu saja tidak seperti tahyul yang dipercayai oleh orang-orang yang memang suka akan tahyul dan suka akan yang sesuatu yang ajaib. Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari keluarga Kwa di kota Kunleng, sebuah kota kecil di sebelah timur pergunungan Gunung Seribu Bunga. Dia bernama Kwa Sinliong, dan nama Sinliong (Naga Sakti) ini diberikan kepadanya kerana ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor naga beterbangan di angkasa diantara awan-awan. Adapun ayah Sinliong adalah seorang pedagang ubat yang cukup kaya di kota Kunleng.

Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini ketika malam hari 3 orang pencuri memasuki rumah mereka. Mulanya 3 orang penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, tetapi ketika mereka memasuki kamar ayah dan ibu Sinliong menghalang mereka. Kerana khuatir dikenali, 3 orang itu lalu membunuh ayah bonda Sinliong dengan tetakan-tetakan golok. Ketika itu Sinliong baru berusia 5 tahun dan di tempat remang-remang itu melihat betapa ayah bondanya dihujani tetakan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak. Sinliong seperti berubah menjadi bisu kerana ngeri dan takut, matanya melotot dan dia tidak dapat mengeluarkan suara. Kerana ini, 3 orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang berharga dan mereka itu juga panik, ingin lekas-lekas pergi kerana mereka telah terpaksa membunuh tuan dan puan rumah.

Setelah para penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sinliong dapat menjerit sekuat tenaganya sehingga malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua lelaki berlari keluar dan melihat 3 orang yang tidak dikenali keluar dari rumah keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar, segera terdengar teriakan "pencuri..pencuri!" dan orang-orang itu mengurung 3 penjahat ini. Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa dan betapa terkejut hati mereka melihat suami-isteri itu tewas dalam keadaan mandi darah, sedangkan Sinliong menangisi kedua orang tuanya, memeluki mereka sehingga muka, tangan dan pakaian anak itu penuh dengan darah ayah bondanya.

"Pembunuh. Mereka membunuh keluarga Kwa!" Orang yang menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari keluar dan berteriak-teriak. "Manusia kejam. Tangkap mereka!" "Tidak. Bunuh saja mereka!" "Tubuh suami-istri Kwa hancur mereka cincang!" "Bunuh!" "Serbu!" Dan terjadilah pergomolan atau pertandingan yang berat sebelah. 3 orang itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan tetapi mereka itu pencuri-pencuri biasa, mana mampu menahan serbuan puluhan bahkan ratusan orang yang sedang marah.

Anak lelaki itu, ketika pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, keluar dari dalam, dengan mukanya, kedua tangannya dan pakaiannya juga penuh darah, melangkah keluar seperti dalam mimpi, mukanya pucat dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang penuh kengerian. Dia berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli 3 orang pencuri tadi, para pembunuh ayah bondanya. Terdengar olehnya betapa pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh, merintih-rintih, minta-minta ampun dan terdengar pula “bak-bik-buk” ketika kaki tangan dan senjata menghentami mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, ditetak, dihentam dan darah memancut-mancut. Tubuh 3 orang itu berkelojotan, suara yang aneh keluar dari tenggorok mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah itu, yang menganggap apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja menghentam 3 manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya longgokan daging-daging hancur dan tulang-tulang patah.

Ketika semua orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka, menghentikan pengeroyokan terhadap 3 mayat itu dan mereka memasuki rumah keluarga Kwa, Sinliong tidak berada disitu. Kiranya budak ini, yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah bondanya ditetaki dan dibunuh, ketika melihat 3 orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah orang-orang itu semua seperti wajah iblis, dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian dan dendam, penuh nafsu membunuh, dengan dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis, sambil menangis tersedu-sedu Sinliong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kunleng, terus berlari ke arah pergunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang baring, seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu.

Seperti orang kehilangan ingatan, semalaman itu Sinliong terus berlari sampai pada keesokannya, akibat kelelahan, dia tersaruk-saruk di kaki pergunungan Seribu Bunga, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun lagi dan lari lagi, terhuyung-hayang dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pengsan di dalam sebuah hutan di lereng bahagian bawah pergunungan Seribu Bunga.

Setelah sedar, anak kecil berusia 5 tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga kerana kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pergunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit supaya dia tidak kelaparan. Di dalam hutan seribu bunga itu Sinliong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain. TEMPAT yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis ketakutan dan kengerian. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah bondanya, yang memaksa ayah bondanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa 3 orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang menyejukkan perasaannya.

Mula-mula Sinliong tidak mempunyai niat untuk kembali ke kotanya kerana dia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah bondanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat 3 orang pencuri yang rosak hancur. Ketika dia tiba di hutan Gunung Seribu Bunga itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang airnya keluar dari sumber, jernih dan amat sejuk. Mula-mula memang dia tidak ingin pulang kerana kengerian hatinya, akan tetapi setelah 2..3 bulan ‘bersembunyi’ di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali kerana dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru. Dekat pohon beringin yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan baginya.

Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis licin sama sekali. Dengan alasan ‘mengamankan’ barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan 3 orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak ‘sekasar’ yang dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan ‘sahabat’ ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh 3 orang pencuri dahulu itu, kerana para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan mereka itu adalah pencuri, tidak berselubung apa-apa dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu si pemilik sedang lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan topeng ‘menolong’ sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat seperti si pencuri biasa kerana mengambil dan menghaki milik orang lain, ke 2 jahat kerana telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung ‘kebaikan’.

Demikianlah sampai 2 tahun lamanya anak berusia 5 tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli perubatan, biarpun ketika usianya baru 5 tahun, sedikit sebanyak Sinliong tahu akan daun-daun dan akar ubat, bahkan sering dia ikuti ayahnya mencari daun-daun ubat di gunung-ganang. Setelah kini dia hidup seorang diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu perubatan mendapat ujian dan pemupukan secara alami. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya. Selama 2 tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih daun-daun dan akar-akar ubat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari pengalaman.

Mungkin kerana tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar serta buah dan bunga yang mangandung ubat ini sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar ubat. Dengan menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat daun dan akar ubat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga, buah ataupun akar. Tidak kelirulah kata-kata orang bahawa pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati Sinliong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu.

Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan seharian akan tetapi juga untuk perubatan, Sinliong mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul kerana dia merasa hidup sebatangkara dan juga timbul kerana melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan 3 orang pencuri itu tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah dan tidak pernah melihat kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberitahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga ajaib dari bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya.

Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang-kadang dadanya, Sinliong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan saputangan lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar ubat dari dalam gua untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat. Menjelang tengahari, mulailah berdatangan penduduk yang memerlukan ubat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang perkungfuan yang kasar dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sinliong memberikan ubatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita. Lebih dari 15 orang datang berturut-turut minta ubat dan yang datang terakhir adalah seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi besar, dibelakangnya tergantung golok dan dia datang terpincang-pincang kerana pahanya terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam.

"Anak Ajaib, kau tolonglah aku." Begitu tiba di depan gua di mana Sinliong duduk dan memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, lelaki bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan. Sinliong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta perubatan, dia paling tidak suka melihat orang perkungfuan yang dapat dikenali dari sikap kasar dan senjata yang selalu mereka bawa. Namun, belum pernah dia menolak untuk mengubati mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhandan saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani kerana tidak mengenali apa artinya ketenteraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.

"Orang tua, bukankah 2 bulan yang lalu kau pernah datang dan minta ubat kerana luka di lengan kirimu yang keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu. "Benar, benar sekali, Anak Ajaib. Aku adalah Harimau Kumbang Sakti yang dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang, aku menderita luka lebih parah lagi. Pahaku tertetak pedang lawan dan celakanya, pedang itu mengandung racun yang amat hebat. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan mati, Anak Ajaib." Sinliong tidak berkata apa-apa lagi, menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka mengangga di balik celana yang ikut terobek. Luka yang lebar dan dalam, luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, seluruh kaki terasa panas tanda keracunan hebat.

Sinliong menarik nafas panjang. "Tok gagah, mengapa engkau masih saja bertempur dengan orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau datang ke sini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan orang lain?" Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil berusia 7 tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah seorang datuk yang menjadi pertapa dan hidup suci.

"Anak Ajaib, aku adalah Harimau Kumbang Sakti, dan jangan kau menyebut Tok gagah kepadaku. Mengertikah kau, aku adalah seorang perompak? Seorang perompak tunggal yang mengandalkan hidup dari merompak orang lewat. Kalau aku tidak perlu barang, aku tentu tidak akan menganggu orang dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, 2 kali aku keliru menilai orang. Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah dan akibatnya lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merompak seorang datuk yang kelihatan lemah, yang membawa barang berharga dan akibatnya pahaku hampir kudung dan kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterimakasih kepadamu, Anak Ajaib dan akan mengkhabarkan sesuatu yang amat penting bagimu".

"Tok gagah, aku tidak memerlukan terimakasih dan balasan. Aku mengenal khasiat tumbuhan di sini yang tumbuh begitu saja mempersilakan siapapun juga yang mengerti untuk memetik dan menggunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa aku minta terimakasih dan balasan? Lukamu ini hebat seluruh kaki sudah panas, berarti darahmu telah keracunan. Untuk mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diubati, tidak seperti sekarang ini ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka lukamu itu, tok gagah?" Orang setengah tua itu membelalakan mata dan kembali dia kagum mendengar cara budak itu bicara, akan tetapi kehairanannya lenyap ketika dia teringat budak ini adalah Anak Ajaib. Dia lalu menghunus goloknya dan melihat berkelebatnya sinar golok, Sinliong memejamkan matanya. Terbayang kembali 3 bilah golok yang memtetaki tubuh ayah bondanya, dan banyak golok yang kemudian memetaki tubuh 3 orang pencuri itu.

Harimau Kumbang Sakti menggunakan ujung goloknya untuk menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan siksaan rasa nyeri yang hebat, Harimau Kumbang Sakti melemparkan goloknya dan menggunakan kedua tangannya memicit-micit paha yang terasa nyeri itu. Sinliong berlutut, menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memicit sehingga darah makin banyak keluar. Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah. Tetapi Sinliong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa hiba yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu dengan perasaan makin terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini, hanya demikian bisikan hatinya. Dia lalu mengambil serbuk akar tertentu, menabur serbuk itu ke dalam luka yang mengangga.

"Aduh..mati aku!" Si tua itu berseru keras ketika merasa betapa ubat itu mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor lebah menyengat-nyengat bahagian yang terluka itu. "Harap kau bertahan, tok gagah sebentar juga akan hilang rasa nyerinya. Jangan lawan rasa nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan ketahuilah serbuk itu adalah ubat yang akan mengusir penyakit ini." Sambil berkata demikian, Sinliong lalu menggunakan 4 helai daun yang sudah diramas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya luka itu dengan 4 helai daun. Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan tanda bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik nafas panjang kerana rasa nyerinya kini dapat ditahannya.

"Harap tok gagah membawa akar ini, dimasak dan airnya diminum. Khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu. Dengan demikian luka itu tidak akan membusuk dan akan lekas sembuh. Ubat serbuk dan daun-daun ini untuk mengganti ubat setiap hari sekali, kiranya cukup untuk sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sinliong berkata sambil membungkus ubat-ubat itu dengan sehelai daun yang lebar dan menyerahkannya kepada Harimau Kumbang Sakti. Orang kasar itu menerima bungkusan ubat dan kembali menghela nafas panjang. "Kalau saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau, kiranya aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terimakasih, Anak Ajaib dan aku tidak dapat membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau terancam bahaya besar".

Sinliong mengangkat muka memandang wajah berkulit hitam itu dengan hairan. "Anak Ajaib, dunia perkungfuan telah gegar dengan namamu. Orang-orang perkungfuan, termasuk aku yang telah menerima pengubatanmu, membawa namamu ke dunia perkungfuan dan terjadilah gegar kerana nama Anak Ajaib menjadi bunga bibir setiap orang perkungfuan. Banyak kumpulan besar tertarik hatinya, menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini telah banyak kumpulan dan orang-orang gagah yang siap untuk datang ke sini dan untuk memujukmu menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-orang perkungfuan yang terkenal. Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang manusia iblis yang lain pula maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan kumpulan perkungfuan, melainkan maksud keji terhadap dirimu."

Sinliong mengerutkan alisnya, sedikitpun dia tidak merasa takut kerana memang dia tidak mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia ini. "Tok gagah, aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun juga. Siapa orangnya yang akan menggangguku?" Datuk itu memandang terharu. "Ahh..kau benar-benar seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya kerana 2 kali kau menolongku, melainkan kerana tidak rela aku melihat orang mau merosak seorang budak ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang iblis itu..." Harimau Kumbang Sakti menggiggil dan kelihatan jerih sekali.

"Siapakah mereka dan apa yang mereka kehendaki dari aku?" "Di dunia perkungfuan, banyak terdapat golongan sesat, manusia-manusia iblis termasuk orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan 2 orang yang kumaksudkan itu, mereka adalah 2 ekor harimau buas sedangkan orang seperti aku hanyalah seekor tikus. Yang seorang adalah tua berpakaian pengemis, kelihatan seperti orang miskin yang alim, namun dialah iblis nombor satu, ketua Kumpulan Pengemis 8 Lengan, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa dan alim menyembunyikan wataknya yang kejam melebihi iblis sendiri. Celakalah engkau kalau sudah berada di tangan datuk ini Anak Ajaib." "Hmm, kurasa seorang tua seperti dia tidak memerlukan seorang anak kecil seperti aku. Aku tidak khuatir dia akan mengangguku, tok gagah!"

"Tidak aneh kalau kau berpendapat demikian, kerana kau seorang anak ajaib yang berhati dan berfikiran polos dan murni. Akan tetapi aku khuatir sekali, apa lagi iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita cantik dan tak ada yang tahu berapa usianya. Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum dan selalu membawa sebuah payung, kelihatannya lemah dan memerlukan perlindungan. Akan tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan lemah-lembutnya itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam daripada iblis sendiri." "Tok gagah, harap saja tok gagah tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. itu tidak baik." Tua itu menarik nafas panjang lalu bangkit berdiri.

"Aku sudah memberi peringatan kepadamu Anak Ajaib. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut aku bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu. Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali ke sini. Aku mendengar berita angin bahwa 2 iblis itu sedang menuju ke Gunung Seribu Bunga mencarimu." Namun Sinliong menggeleng kepala "Aku diperlukan oleh penduduk desa daerah sini, aku tidak pergi kemana-mana, tok gagah." "Hmm, sudahlah. Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-benar tidak terjadi seperti yang kukhuatirkan. Dan lebih-lebih lagi mudah-mudahan aku tidak akan terluka lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah tidak berada lagi di sini, aku payah mencari ubat. Selamat tinggal, Anak Ajaib dan sekali lagi terimakasih." "Selamat jalan, Tok gagah, semoga lekas sembuh."

Orang itu berjalan menyeret kakinya yang terluka, baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata, "Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi, Anak Ajaib?" Sinliong tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab. "Anak Ajaib, siapakah namamu yang sesungguhnya?" "Aku disebut Anak Ajaib, biarpun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak dapat menolak sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Anak Ajaib, itulah namaku." Harimau Kumbang Sakti menggeleng kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-geleng dan mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak ajaib..sayang.” Dan dia mengepal tinju, seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu budak yang dikaguminya itu.

Beberapa hari kemudian semenjak Harimau Kumbang Sakti datang minta ubat kepada Sinliong, makin ramailah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang gegar di dunia perkungfuan tentang dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengari oleh Sinliong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang didengarnya itu.

Beberapa pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki pergunungan Seribu Bunga tampak berjalan seorang tua seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah menikmati pemandangan alam sekitar tempat itu. Tua ini usianya tentu sudah 60an tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tampalan dan wajahnya membayangkan kesabaran dan mulut yang rompong itu bahkan selalu menyungging senyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di kaki Gunung Seribu Bunga, langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat yang berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupnya serba kekurangan namun dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa kurang, bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan hatinya selalu senang.

Buktinya ketika dia mendengar kicau burung-burung, datuk ini membuka mulutnya dan bernyanyi pula. Tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang yang mendegarnya mengerutkan kening, kerana selain aneh, juga menyimpang dari ajaran kebatinan umumnya.

Apa artinya hidup
kalau hati tak senang?
Apa artinya hidup
Kalau segala keinginan tak terpenuhi?
Puluhan tahun mempelajari ilmu
Bekal memenuhi segala kehendak
Berenang dalam lautan kesenangan
Matipun tidak penasaran

Berkali-kali pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan cukup merdu dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu keras, ujung tongkat itu tentu membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu buruk itu sendiri tidak meninggalkan jejak biarpun menginjak tanah basah, seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi tongkat itu membuat jejak jelas kerana setiap kali melubangi tanah maupun batu. Beberapa minit kemudian setelah datuk aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang, juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu.

Mereka itu terdiri dari 12 orang lelaki dari usia 30 sampai 40 tahun dan seorang wanita berusia 25 tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang ramping. 12 orang lelaki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka jelas menunjukkan mereka adalah ahli-ahli kungfu, sedangkan gerakan mereka yang ringan lincah membuktikan mereka bukanlah sembarangan orang perkungfuan melainkan rombongan orang gagah yang berilmu. Mereka itulah yang terkenal dengan julukan 13 Pendekar Sakti murid-murid utama dari kumpulan besar Wudang. "Tahan dulu, para abang!" Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan para abangnya, kemudian dia menuding ke bawah dan berkata, "Lihat ini."

13 orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu berlubang. "Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut. "Tenaga tusukan tongkat yang hebat" kata seorang. "Dan jejak kakinya tidak tampak, tak salah lagi, Raja Pengemis 8 Lengan, tentu telah lewat di sini, dan baru saja. Ayuh cepat kita mengejarnya. Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang tertua di antara mereka, seorang berusia 40 tahun yang bermuka seperti harimau.

Kerana kini merasa yakin jejak lubang-lubang itu tentu terbuat oleh tongkat Raja Pengemis 8 Lengan, 13 orang tokoh Wudang itu mencabut senjata masing-masing dan tampaklah berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika 13 orang itu mengerahkan meringan badan mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama kemudian terdengarlah oleh mereka bunyi nyanyian pengemis tua tadi. 13 orang ini memperlambat larinya dan satu-satunya wanita di antara mereka mengomel lirih, "Hmm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi iblis sendiri!"

"Sstt, adik, terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu, Wudang tidak pernah bermusuhan dengan tokoh perkungfuan yang manapun juga, tidak pula mencampuri urusan mereka. Biarlah nanti kita bertanya dia secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa, lebih baik kita menghindarkan pertempuran." Kata abang seperguruan tertua mereka. Semua adiknya mengangguk, akan tetapi adik perempuannya mengomel, "Siapakah yang takut kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya. Memang gadis yang bernama The Kwatlin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang ilmu pedangnya hebat tidaklah menghairankan apabila dia terhitung seorang di antara 13 Pendekar Sakti yang terkenal di dunia perkungfuan.

"Adik, kita harus mentaati perintah guru, agar tidak membawa Wudang menanam bibit permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun kaum sesat. Kerana itu, dalam pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian semua." Kerana maklum dia tidak boleh melanggar perintah gurunya dan abangnya ini selain paling hebat juga merupakan seorang yang mewakili guru mereka, Kwatlin mengangguk biarpun bibirnya yang merah tetap muncung tidak puas kerana melihat sikap jerih yang diperlihatkan para abangnya. 13 Pendekar Sakti mempunyai nama besar di dunia perkungfuan, disegani kawan ditakuti lawan, sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja kelihatan gentar?

Suara nyanyian itu makin keras, tanda jarak di antara mereka dengan datuk itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, 13 orang pendekar Wudang itu dan dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh mereka, dari kanan kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri mengadap di depan datuk pengemis dengan sikap megah dan gagah. Pengemis tua itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Kwatlin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya. Setelah nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh-eh, apakah kalian ini serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku seorang pengemis tidak mempunyai wang untuk membayar upah kalian."

"Harap tuan tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa tuan adalah ketua Kumpulan Pengemis 8 Lengan yang terhormat. Tuan adalah tokoh terkenal yang berjuluk Raja Pengemis 8 Lengan, bukan?" Tua yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu tersenyum, juga simpati dan ramah. 13 pendekar Wudang itu yang hanya baru mengenal nama datuk sakti kaum sesat ini, diam-diam merasa hairan bahkan sangsi apakah benar mereka berhadapan dengan Raja Pengemis 8 Lengan yang khabarnya kejamnya seperti iblis, kerana datuk ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah. "Ha..ha..ha, sungguh sukar zaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri. Orang-orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, biarpun belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan cantik, dia memandang Kwatlin lagi dengan kagum, "Tidak keliru dugaan kalian aku adalah Raja Pengemis 8 Lengan, seorang pengemis tua yang hanya memiliki sebatang tongkat buruk ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian menghadang perjalananku?"

"Kami adalah 13 Pendekar Sakti Wudang!" kata Kwatlin dan kerana sudah terlanjur, percuma saja abangnya mencegahnya dengan pandang matanya. "Benar, kami adalah murid-murid Wudang," kata abang itu dengan hati tidak enak kerana adiknya yang lancang itu ternyata telah membuka kartu dan mengaku mereka dari Wudang, berarti membawa nama perkumpulan mereka. "Ha..ha..ha, bagus. Memang Wudang mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang khabar yang kudengar. Kalau tidak salah, aku tidak pernah berurusan dengan Wudang." Melihat sikap datuk itu masih ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermusuh, si abang itu menjadi makin tidak enak. Dia maklum orang macam apa adanya datuk di depannya ini, dan betapa Anak Ajaib yang mereka dengar sudah menolong manusia dengan pengetahuan yang tepat mengenai khasiat herba yang mengandung ubat, tetap saja dia merasa khuatir akan keselamatan Anak Ajaib itu kalau sampai datuk datuk sesat ini bertemu dengan anak itu.

"Apa yang tuan katakan memang benar. Di antara tuan dengan Wudang, tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Wudang juga tidak berniat untuk menganggu tuan yang terhormat. Hanya kami mendengar berita di antara banyak tokoh perkungfuan, tuan juga berminat kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Anak Ajaib dan yang berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah tuan sekarang sedang menuju ke hutan itu?" Mulai berubah wajah tua itu mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi sepasang matanya yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembiraannya dan berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua.

"Hmm, orang-orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi Anak Ajaib, kalian mau apa?" 13 orang anak murid Wudang itu sudah dapat ‘mencium’ keadaan yang membuat mereka semua siap siaga. Mereka melihat tua yang kelihatannya halus budi itu dan ramah ini mulai memperlihatkan ‘tanduknya’ atau watak sebenar. "Tuan, kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada tuan agar tidak mengganggu Anak Ajaib." "Apa hak kamu akan budak itu?" "Bukan apa-apa, tuan. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu tanpa minta balasan, sudahlah menjadi kewajiban semua orang di dunia perkungfuan untuk menjaga keselamatannya." Makin nampak perubahan hebat pada diri tua itu. Kini senyumnya lenyap dan mulutnya menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah kaku, ketus dan memandang rendah.

"Anak-anak kurang ajar. Apakah si tua bangka Rahib Kuibho yang mengutus kalian?" "Guru kami tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan mendengar akan Anak Ajaib yang terancam bahaya, kami melihat tuan lalu sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau tuan tidak menghendaki Anak Ajaib, kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya." "Aku memang menuju ke Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka aku akan mencelakai Anak Ajaib?" 13 pendekar Wudang itu makin tegang. Tua ini sudah mulai berterus terang, tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula. "Siapa yang tidak mendengar bahwa Raja Pengemis 8 Lengan sedang menyempurnakan ilmu iblis yang disebut Tangan Darah Hitam?" Tiba-tiba Kwatlin berseru sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka datuk itu. Para abangnya terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan memang dalam hati mereka terkandung tuduhan ini.

Ilmu Tangan Darah Hitam adalah semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat kerana ilmu ini memerlukan syarat yang amat keji, iaitu menghimpun kekuatan hitam dengan jalan menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih bersih darahnya. Tentu saja bagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis ini, Anak Ajaib mempunyai daya tarik yang luar biasa, kerana darah, otak dan sumsum seorang budak seperti Anak Ajaib yang ajaib, lebih berharga dari darah, otak dan sumsum puluhan orang budak biasa lainnya.

Tiba-tiba si tua itu tertawa lebar. "Hah..hah hah..hah, memang benar. Satu-satunya budak yang akan menyempurnakan ilmuku itu adalah Anak Ajaib. Aku bukan hanya suka minum dan menghisap darah, otak dan sumsum budak yang bersih, juga aku suka bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, cik manis." "Singg..Singg!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika 13 bilah pedang itu bergerak secara serentak dan 13 orang pendekar itu telah mengurung si tua yang masih tertawa-tawa. "Heh-heh, kalian mau cuba-cuba main-main dengan Raja Pengemis 8 Lengan? Sayang kalian masih muda-muda harus mati, kecuali adik manis. Andaikata si tua bangka Rahib Kuibhok berada di sini sekalipun, dia juga tentu akan berani menentang Raja Pengemis 8 Lengan." "Serbu dan basmi iblis ini!" si abang itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat.

Tiba-tiba datuk itu mengeluarkan pekikan yang dahsyat, disusul dengan suara tertawa menyeramkan. Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehingga terdengar suara ketawa menjawabnya dari semua penjuru, seolah-olah semua setan dan iblis penjaga hutan telah datang oleh panggilan datuk itu. Hebatnya, pekik dan tertawa itu membuat 13 orang pendekar itu seketika seperti berubah menjadi arca, gerakan mereka terhenti dan untuk beberapa detik mereka hanya bengong memandang datuk itu dan jantung mereka seolah-olah berhenti berdenyut. Si abang mereka yang bermuka gagah perkasa itu segera berseru, "Awas. Auman Singa!" Seruan ini menyadarkan para adiknya. Mereka cepat mengerahkan aura sehingga pengaruh Auman Singa itu menghilang. Pedang mereka melanjutkan gerakannya.

"Sing-sing..siuut trang-trang-trang heh-heh-heh!" Gulungan sinar pedang-pedang yang menyambar ke arah tubuh si tua dari berbagai jurusan, dapat ditangkis oleh gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar dengan cepatnya oleh Raja Pengemis 8 Lengan. Para pendekar Wudang itu terkejut ketika merasakan betapa telapak tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis tongkat. Hal ini menandakan si tua benar-benar amat hebat dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Tongkatnya juga yang kelihatan buruk dan hitam itu ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman pedang di tangan mereka, padahal semua pedang di tangan 13 Pendekar Sakti adalah pedang-pedang pusaka yang ampuh. "Ha..ha..ha, inikah Senipedang 5 Unsur dari Wudang yang terkenal? Ha..ha, tidak seberapa!" Sambil menggerakan tongkatnya menangkis setiap sinar pedang yang meluncur datang, datuk itu tertawa dan mengejek.

"Bentuk Barisan Pedang Sakti!" Teriak si abang melihat betapa tua itu benar-benar amat kuat sehingga semua serangan pedang mereka dapat ditangkis dengan mudahnya. Tiba-tiba 13 orang pendekar itu merubah gerakan mereka, kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung dan mengelilingi tua itu, sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang susul menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu. Diam-diam tua itu terkejut. Sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan tertentu, biarpun gerakan mereka tadi berdasarkan Senipedang 5 Unsur, namun dia sudah dapat mengenal dasar Senipedang 5 Unsur dan dapat menggerakkan tongkat secara otomatis untuk menangkis semua pedang yang datang menyambar. Tetapi sekarang, sukar dia menentukan dari mana serangan akan datang, dan gerakan mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing.

Marahlah Raja Pengemis 8 Lengan. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Wudang dan memperhatikan para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Setelah mereka menggunakan Barisan Pedang Sakti dia tahu kalau dia tidak cepat mendahului mereka, dia akan terancam bahaya. Tidak disangkanya si tua bangka Rahib Kuibhok, ketua Wudang dapat menciptakan barisan pedang yang demikian hebatnya. Tiba-tiba terjadi perubahan pada diri datuk ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah darah. "Hati-hati terhadap Tangan Darah Hitam!" Si abang berseru keras ketika melihat perubahan warna tangan kiri datuk itu. Raja Pengemis 8 Lengan tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat daripada tadi dan tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi tangan kiri merah itu mendorong ke depan.

"Prak-prak...dess!" 3 orang pengeroyok menjerit dan roboh, 2 orang dengan kepala pecah oleh tongkat, sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Tangan Darah Hitam, roboh dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas 5 jari merah seperti terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Tangan Darah Hitam, pukulan maut yang mengerikan. Padahal ilmu itu masih belum sempurna, betapa hebatnya kalau tua ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum seorang budak ajaib seperti Anak Ajaib. 10 pendekar Wudang terkejut dan amat marah. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat dan penuh dendam. Namun kembali Raja Pengemis 8 Lengan memekik dahsyat sambil bergerak menyerang dan kembali 3 orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk membebaskan diri. 4 kali terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan akibatnya, 12 orang diantara 13 Pendekar Sakti dari Wudang itu tewas semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup tinggal The Kwatlin seorang.

Hal ini memang disengaja oleh Raja Pengemis 8 Lengan dan kini sambil tersenyum mengejek dia mengadapi Kwatlin. Betapa perasaan dara itu melihat 12 orang abangnya telah tewas semua. 12 orang abangnya yang selama ini berjuang sehidup semati dengannya, kini telah menjadi mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seolah-olah mayat 12 orang itu mengurung dia dan Raja Pengemis 8 Lengan yang berdiri tersenyum di depannya. "Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kwatlin berseru mengandung isak tertahan. "Haiit!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap. Namun dengan gerakan seenaknya tua itu memukulkan tongkatnya dari samping menghantam pedang yang menusuknya.

"Krekk!" Pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwatlin. Dara itu membelalakan matanya dan melihat pandang mata tua itu kepadanya, melihat senyum yang baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan melayang ke arah sebatang pohon besar, dengan niat untuk membenturkan kepalanya pecah pada batang pohon itu. Kwatlin melihat ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri, setelah yakin dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon.

"Bukk!" Bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut lunak dan tubuhnya berada dalam pelukan Raja Pengemis 8 Lengan yang entah bila telah berada di situ menghadangnya di depan pohon. "Lepaskan aku.” Kwatlin berteriak dan tubuhnya tiba-tiba dilontarkan oleh datuk itu, jauh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat abangnya. Dengan langkah longlai, tua itu tersenyum memasuki lingkaran dan melangkahi mayat bekas para penggeroyoknya, menghampiri Kwatlin yang sudah duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor arnab muda ketakutan mengadapi seekor harimau yang siap menerkamnya.

Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwatlin cepat menggerakan tangan kanannya, dengan 2 buah jari tangan dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri sambil mengerahkan aura. Batu karang saja akan berlubang terkena tusukan jari tangannya seperti itu apa lagi ubun-ubun kepalanya. "Plakk!" "Aihh!" Kwatlin menjerit ketika tangannya itu tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata tua itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh diri. "Brett..brett" Tongkat tua itu bergerak beberapa kali dan seperti disilap mata saja seluruh pakaian yang membungkus tubuh Kwatlin cabik-cabik dan cerai-berai, membuatnya menjadi telanjang bulat sama sekali. Kwatlin menjerit akan tetapi tiba-tiba, seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, tua itu telah menerkam dan memeluknya sehingga mereka berdua bergulingan di atas rumput yang bernoda darah para korban keganasan tua itu.

Kwatlin melawan sekuat tenaga, namun sia-sia belaka. Untuk membunuh diri tidak ada jalan baginya, untuk melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan permohonan, semua usahanya meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan semua usaha ini malah menyenangkan hati si tua. Seolah-olah seekor kucing yang menjadi gembira dapat mempermainkan seekor tikus yang telah tersudut dan tidak berdaya, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum menjadi mangsanya. Selama 3 hari 3 malam Kwatlin menderita siksaan yang amat hebat. Diperkosa, dihina, diejek. Pada hari ketiga, pagi-pagi dalam keadaan lebih banyak yang mati daripada yang hidup, dalam keadaan setengah sedar, rebah terlentang tak mampu bergerak, hanya matanya saja yang mendelik memandang tua itu. Kwatlin melihat tua itu mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memandang kepadanya yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di atas rumput berdarah.

"Ha-ha-ha, sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri, silakan. Ha-ha-ha!" Biarpun Kwatlin berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati kerana lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu dalam benaknya, namun kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untuk berseru, "Jahanam, sekarang aku harus hidup. Aku harus hidup untuk melihat engkau mampus di tanganku!" "Ha..ha..ha..ha. Kalau sewaktu-waktu kau merasa rindu kepadaku, manis, datang saja ke Gunung Hong, sampai jumpa.” Tua itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu meninggalkan Kwat-Lin yang masih rebah dan kini wanita yang bernasib malang ini menangis sesenggukan dia antara mayat-mayat 12 abangnya yang sudah mulai membusuk dan berbau.

Betapa tersiksa rasa badan wanita muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara mayat-mayat 12 abangnya, bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan bau yang hampir tak tertahankan, tua itu masih saja enak-enak mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam melebihi iblis sendiri.
Categories: ,

0 komen:

Post a Comment