Aug 26, 2010

Tok Keramat

Bab 2
Tiba-tiba Kwatlin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan kerana selama 3 hari 3 malam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh datuk iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat abangnya, dan matanya menjadi liar, keluar suara parau yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan datuk iblis. “Abang sekalian, dengarlah. Aku The Kwatlin, bersumpah untuk membalas kematian abang sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Raja Pengemis 8 Lengan.” Tiba-tiba dia terhuyung mundur memandang wajah abang sulongnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya. “Abang.” Dia menerkam dan berlutut dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu. “Jangan berduka, abang..jangan menangis.” Dia berdiri sesenggukan. “Apa? Aku telanjang? Pakaianku?” Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwatlin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak besar. “Hi-hi-hik, pakaianmu besar, abang.” Dia memandang wajah mayat abangnya dan tertawa lagi. “Hi-hik, nah begitu, tertawalah abang, tertawalah abang sekalian, tertawa dan gembiralah kerana dendam kalian pasti akan kubalaskan. Hi-hi-hik...hu-hu-huh.”

Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-hayang dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang abangnya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ke 13 orang pendekar Wudang itu, sebilah Pedang Bwee Merah pemberian Ketua Wudang sendiri, yang gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah. Dia terhuyung-hayang, pergi tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja, kecil-kecil dan terhuyung-hayang kerana tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya mengerbang dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu akan merasa seram, mengira setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwatlin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada ingatannya.

Pada hari yang sama di daerah timur pergunungan, ketika 13 Pendekar Sakti roboh di tangan Raja Pengemis 8 Lengan di kaki pergunungan Seribu Bunga, terjadi pula peristiwa hebat di bahagian daerah barat pergunungan itu. Peristiwa yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeza.

Pada pagi hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pergunungan Seribu Bunga sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri dan harus diakui wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang kuat sungguhpun usianya sudah 40 tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga dan ngeri kerana sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip. Mata itu terbuka terus seperti mata patung.

Dengan langkah longlai dan lemah, membuat pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutar sebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas. Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya yang panjang terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat mengikuti lekuk tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang mengghairahkan dari dada sampai ke kaki kerana celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat juga.

Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit, namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa. Inilah dia yang terkenal di dunia hitam kaum penjahat, sebagai Cendekiawati Pedang Payung, sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri sangking ngerinya kerana wanita yang sebenarnya hanya bernama Lioksi ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya. Bahkan dia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan hantu yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedut habis oleh hantu ini. Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira wanita yang berlenggang-lenggok dengan payung di bahu itulah iblis wanita yang menggeggarkan dunia perkungfuan dengan perbuatannya yang luar biasa. Pada hari itu Cendekiawati Pedang Payung ini mendaki lereng Gunung Seribu Bunga.

Tentu saja dia pun mendengar berita menggeggarkan dunia perkungfuan akan adanya Anak Ajaib, keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangan dan penuh ghairah. Dia dapat membayangkan betapa tenaga mukjizat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat kalau dia dapat menghisap kejantanan si Budak Ajaib itu. Begitu mendengar akan budak ajaib di puncak Pergunungan Seribu Bunga di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh mengunjungi pergunungan itu. Biarpun sering kali Lioksi pergi merantau namun dia memiliki sebuah bangunan kecil seperti istana mewahnya terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, iaitu di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki Gunung Luliang, merupakan daerah maut kerana banyak lumpur dan pasir yang berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan haiwan. Namun di tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain, terdapat sebuah tanah datar yang keras semacam pulau dan di atas pulau inilah letaknya istana kecil milik Lioksi si Cendekiawati Pedang Payung, bersama belasan orang pembantu-pembantu yang sudah menjadi orang-orang kepercayaannya.

Dia disebut cendekiawati kerana sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil Lioksi telah mempelajari dan mahir dalam kesusasteraan, bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar pelajar. Akan tetapi, penyamarannya terbongkar dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya lalu mengambilnya sebagai seorang gundik. Selain ilmu sastera, Lioksi juga semenjak kecil digembleng ilmu oleh sahabat ayahnya, apalagi setelah menjadi gundik pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal maharaja yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu kungfu tinggi yang diperolehnya sebagai ‘bayaran’. Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat gundiknya ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria, dia diusir dari istana pembesar itu. Sebaliknya wanita ini membunuh si pembesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian lari.

Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Cendekiawati Pedang Payung, namun tidak ada yang menduga dia adalah Lioksi. Lioksi berjalan sambil tersenyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih mengkilat dan di kedua hujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi taring. Hatinya gembira kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh budak ajaib itu. “Hmm, aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama mungkin. Hmm.”

Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan langkahnya, tetapi kembali dia tersenyum manis matanya mengerling tajam penuh keghairahan ketika melihat 5 orang lelaki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria seperti Lioksi tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat 5 orang pria yang usianya rata-rata 30 tahun lebih bertubuh tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah. Seperti melihat 5 butir buah yang ranum dan matang.

“Aih..aih siapakah kamu berlima yang gagah perkasa ini? Apakah kamu berlima sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?” Seorang di antara mereka, yang usianya 30 tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam dan tebal berkata, “Apakah kami berhadapan dengan Cendekiawati Pedang Payung dari Rawa Bangkai?”
Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah merka berganti-ganti dengan berseri, mulunya tersenyum ketika menjawab, “kalau benar mengapa? Kalian ini siapa?” “Kami adalah 5 Pendekar Gunung Ayam”. Cendekiawati Pedang Payung mengeluarkan bunyi, “Isk..isk..isk.” dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata manis. “Aih, kiranya 5 pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia perkungfuan sebagai murid-murid utama Huashan? Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku.”

“Harap puan tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa adanya Cendekiawati Pedang Payung dan kerana melihat engkau mendaki Gunung Seribu Bunga, terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang.” “Ehm.” Maksud kalian?” Senyumannya makin manis dan kerling matanya makin memikat. “Kami telah mendengar akan berita tokoh-tokoh perkungfuan sedang berusaha untuk merebutkan Anak Ajaib yang berada di Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar pula Cendekiawati Pedang Payung merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik Anak Ajaib. Kerana kami telah terhutang budi, diberi ubat oleh Anak Ajaib kami hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan.. maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya. Andaikata kami tidak berhutang budi sekalipun, mengingat Anak Ajaib adalah seorang yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban kami untuk melindunginya.”

Kembali Cendekiawati Pedang Payung tersenyum. “Terus terang saja, memang aku mendengar tentang Anak Ajaib dan aku ingin mendapatkannya, hari ini aku mendaki Gunung Seribu Bunga. Habis kalian mau apa?” Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu puan. Kalu kau memaksa hendak menganggu Anak Ajaib, terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan.” “Hi..hi..hik, galak sungguh. 5 lelaki muda tampan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh ghairah, sungguh tidak semestinya kalau bermain senjata mengadu nyawa.” “Hmm, habis semestinya bagaimana?” tanya orang pertama dari 5 Pendekar Gunung Ayam yang betapapun juga merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ, tidak mengganggu Anak Ajaib.

Mata itu tajam mengerling dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan. “Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu kasih.” “Perempuan hina. Jalang. Hantu betina.” 5 orang itu telah mencabut senjata golok besar masing-masing yang selama ini telah mengangkat nama mereka di dunia perkungfuan. Kelima pendekar ini memang merupakan ahli-ahli bermain Senigolok Huashan yang terkenal dan selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok nadi yang bernama Totokan 3 Jari. “Siaatt..singg..singg” “Ha..ha, bagus. kalian memang gagah bermain golok, tentu lebih gagah kalau bermain cinta, hi..hik.” Cendekiawati Pedang Payung mengelak dan tiba-tiba payung hitamnya kembang terbuka. Payung itu merupakan senjata isimewa, dibuat dari waja yang kuat dan kainnya dibuat dari kulit badak yang kering dan sudah dimasak lembut, namun kuatnya luar biasa dapat menahan tetakan senjata tajam. Adapun hujung payung itu meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang melengkung itu pun dapat digunakan sebagai senjata cangkuk yang hebat.

“Trang..trang..trang” Bunga api berpijar ketika golok-golok itu tertangkis oleh payung dan kerana kini tubuh wanita itu tertutup payung kembang dan berputar-putar, sukarlah bagi 5 orang itu untuk menyerangnya dari depan. Mereka lalu berloncatan dan mengurung wanita itu. “Hi..hik, ayuh keroyoklah. Kalau baru kalian 5 orang ini saja, masih terlampau sedikit bagiku. Hi..hik, hendak kulihat sampai di mana kekuatan kalian apakah patut untuk menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta.” “Perempuan rendah.” Orang pertama dari 5 pendekar itu amat marah, goloknya menyambar dahsyat, tapi tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara kerana telah terikat oleh suatu benda hitam panjang lembut. Kiranya wanita itu telah mengudar gelung rambutnya dan ternyata rambut itu panjangnya sampai ke bawah pinggulnya, rambut yang gemuk hitam, panjang dan harum baunya, bahkan bukan itu saja keistemewaannya, rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh, sebagai cambuk yang kini berhasil membelit golok orang pertama dari 5 Pendekar Gunung Ayam. Sebelum orang ini sempat menarik goloknya, tangan kiri Cendekiawati Pedang Payung bergerak menghentam tengkuk orang itu dengan tangan miring.

“Krekk.” Lelaki itu mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali kerana dia telah terkena totokan istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguhpun dia masih dapat melihat dan mendengar. 4 orang lainnya terkejut dan amat marah. Mereka memutar golok lebih lincah lagi, bahkan kini tangan kiri mereka membantu dengan serangan totokan-totokan 3 Jari yang ampuh. Namun orang yang mereka keroyok itu tertawa mempermainkan mereka. Setiap serangan golok dapat dihalau dengan mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan hujung rambut yang panjang itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan menyambar-nyambar di atas kepala mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan kepanikan saja kerana memang dipergunakan untuk mempermainkan mereka.

“Mampuslah.” Orang ke 2 yang ketika goloknya ditangkis, cepat ‘memasuki’ lowongan dan berhasil mengirim totokan. Kerana tempat terbuka yang dapat dimasuki jari tangannya di antara putaran payung itu hanya di bagian dada, dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam keadaan seperti itu, mengadapi lawan yang amat kuat, pendekar ini sudah tidak mau lagi mempergunakan sopan santun yang tentu tidak akan dilanggarnya kalau keadaan tidak mendesak seperti itu. “Cuss..” 3 batang jari itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat, sedangkan wanita itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata, “Aih, kau bersemangat benar, tampan. Belum apa-apa sudah main colek dada, hi..hik.” Tentu saja pendekar ini menjadi merah mukanya. Dia merasa malu akan tetapi juga penasaran. Ilmu totok yang dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal. Tadi jelas dia telah menotok nadi yang amat berbahaya di dada wanita itu, mengapa wanita itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan menyindirnya dan dianggap dia mencolek dada?, Dengan marah dia menerjang lagi bersama 3 orang adiknya.

“Sudah cukup, sudah cukup, rebah dan beristirahatlah kalian.” Tiba-tiba payung itu tertutup kembali, berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung sinar hitam menyambar-nyambar mendesak 4 orang itu, kemudian dari atas terdengar ledakan-ledakan dan berturut-turut 3 orang lagi roboh terkena totokan hujung rambut wanita sakti itu. Seperti orang pertama, mereka ini pun roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak namun tidak menggerakan kaki tangan mereka. Orang termuda dari mereka terkejut setengah mati melihat betapa 4 abangnya telah roboh. Namun dia tidak gentar, bahkan dengan kemarahan dan kebencian meluap dia memaki, “Perempuan hina, pelacur rendah, hantu betina, aku takkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu.”

“Aihh..kau penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku.” Golok itu tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental dan sebelum lelaki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung rambut telah membelit lehernya. Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan lilitan rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbelit rambut yang seolah-olah hidup seperti ular-ular hitam yang kuat. “Nah, ke sinilah, tampan. Mendekatlah, kekasih. Kau perlu diajar agar tidak suka memaki lagi1”

Lelaki itu sudah membuka mulut hendak memaki lagi, akan tetapi lilitan rambut pada lehernya makin erat sehingga dia tidak dapat bernafas, kemudian rambut itu menariknya mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu. Kini lelaki itu sudah berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada yang membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau wangi yang aneh dan memabokkan, akan tetapi kerana lehernya terbelit kuat-kuat, dan nafasnya tak dapat lancar, dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar. “Aihh, kau perlu diberi sedikit ajaran, Tampan.”

4 orang pendekar yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian betapa wanita itu kini mendekatkan muka adik mereka yang termuda, kemudian membuka mulut dan mencium mulut adik mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur keluar itu.Mereka melihat tubuh adik mereka berkelojot sedikit seperti menahan sakit, mata adik mereka terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut pria itu dengan mulutnya sendiri yang lebar. Tak dapat terlihat oleh 4 orang pendekar itu betapa wanita itu yang kejam dan keji seperti iblis, telah menggunakan giginya untuk menggigit sampai terluka lidah adik mereka yang terjulur keluar, kemudian menghisap darah dari luka di lidah itu.

Mereka berempat hanya melihat betapa wanita itu memejamkan mata, baru sekarang mereka melihat wanita itu memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wajah adik mereka makin pucat dan mata adik mereka yang terbelalak itu membayangkan kenyerian dan ketakutan yang hebat. Agaknya wanita itu tidak puas kerana darah yang dihisapnya kurang banyak, kini dia melepaskan mulut pemuda itu dan memindahkan ciuman mulutnya ke leher si pemuda. Betapa terkejut 4 orang pendekar itu melihat bahwa mulut adik mereka penuh warna merah darah. “Adik..” Mereka berseru akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangan mereka.
Adik mereka meronta-ronta seperti ayam disembelih, matanya melotot memandang ke arah para abangnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan ketika wanita itu kelihatan jelas menghisap-hisap lehernya ternyata bahwa urat besar di lehernya telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya wanita itu menghisap darah yang membanjir keluar dari urat di leher itu.

Mata yang melotot itu makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin pucat dan akhirnya tubuh yang meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu pengsan kerana kehilangan banyak darah, takut dan ngeri. Cendekiawati Pedang Payung melepaskan lilitan rambutnya dan tubuh itu tergulig roboh, terlentang dengan muka pucat dan nafas terengah-engah. 'Adik..” Kembali mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita itu menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk menjilati darah yang masih belepotan di bibirnya yang menjadi makin merah. Wajahnya kemerahan, segar seperti bunga mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia mendekati 4 orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian.

Wanita itu tidak menyerang mereka, agaknya dia sudah puas menghisap darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak -gerak dan sekali renggut saja pakaian 4 orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia bangkit berdiri, dengan gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia membuka pakaiannya, menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari, sampai dia bertelanjang bulat sama sekali di depam 4 orang itu yang membuang muka dengan perasaan ngeri dan sebal. “Kalian layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan kalian berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian.” “Ceh, hantu betina. Kauanggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah murid Huashan yang tidak takut mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada memenuhi nafsumu yang terkutuk dan menjijikan.” kata 4 orang itu saling susul dan saling bantu.

Cendekiawati Pedang Payung tersenyum. “Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku sampai mampus!” Dia lalu membungkuk dan menarik lengan seorang di antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri menggurat beberapa tempat di belakang dan tengkuk pria ini. Orang itu menggigil, menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi kerana dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalaman, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggetarkan tubuhnya melalui luka-luka goresan kuku beracun dari kelingking itu. Mukanya menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan nafasnya terengah-engah. 3 orang pendekar yang lain memandang penuh kekhuatiran dan kengerian.

Tiba-tiba wanita itu terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya dan terjadilah hal yang membuat 3 orang pendekar yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. Mereka melihat adik mereka itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh ghairah nafsu. Dengan mata terbelalak mereka melihat wanita itu menyambutnya dengan kedua lengan terbuka, bergulingan di atas rumput dan wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian mengalihkan mulutnya yang lebar ke leher adik mereka. Mereka bertiga terpaksa memjamkan mata agar tidak usah menyaksikan peristiwa yang memalukan dan terkutuk itu. Mereka mengerti bahwa adik mereka melakukan hal terkutuk itu kerana terpengaruh oleh racun yang diguratkan oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula adik mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti telah dilakukan pada orang pertama tadi kini juga menghisap darahnya sepuas hatinya.

3 orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa dapat berdaya apa-apa tanpa dapat melawan. Hal ini dilakukan berturut-turut oleh Cendekiawati Pedang Payung dan 3 hari 3 malam kemudian, dia meninggalkan tempat itu sambil menjilat-jilat bibirnya penuh kepuasan. Setelah dia melempar kerling ke arah 5 tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat semua itu, bergegas dia pergi mendaki Gunung Seribu Bunga untuk mencari Anak Ajaib yang amat diinginkan. 5 Pendekar Gunung Ayam itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh mereka kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka seperti 5 ekor lalat yang terjebak ke sarang labah-labah dan setelah semua darah mereka disedot habis oleh labah-labah, mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan begitu saja.

Pada pagi hari itu seperti biasa Kwa Sinliong si Anak Ajaib, setelah mandi cahaya matahari, lalu menjemur ubat-ubatan dan tidak lama kemudian berturut-turut datanglah orang-orang desa yang memerlukan bahan ubat untuk bermacam penyakit yang mereka derita. Anak Ajaib mendengarkan dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit yang mereka derita, menyiapkan ubat-ubat untuk mereka semua dengan hati penuh belas kasihan. Semua ada sebelas orang desa, tua muda laki perempuan yang memandang kepada budak itu dengan sinar mata penuh kekaguman. Baru bertemu dan memandang wajah Anak Ajaib itu saja, mereka sudah merasa banyak berkurang penderitaan sakit mereka.

Seolah-olah ada wibawa yang keluar dari wajah budak penuh kasih sayang itu yang meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu saja hal ini sebenarnya terjadi kerana kepercayaan mereka yang penuh bahwa budak itu akan dapat menyembuhkan penyakit mereka, sehingga keyakinan ini sendiri sudah merupakan ubat yang mujarab. Dan budak ajaib itu memeang bukanlah seorang dukun yang menggunakan kemukjizatan dan sulap atau sihir untuk mengubati orang, melainkan berdasarkan ilmu pengubatan yang wajar. Dia memilih buah, daun, bunga atau akar ubat yang memang tepat mengandung khasiat atau daya penyembuh terhadap penyakit-penyakit tertentu itu.

Tiba-tiba terdengar nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh mereka semua. Juga Sinliong, berhenti sebentar mengumpulkan dan memilih ubat yang akan dibagikan kerana mendengar suara nyanyian yang aneh itu. Akan tetapi begitu kata-kata nyanyian itu dimengertinya, dia mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepala. “Aihh, kalau hidup hanya untuk mengejar kesenangan, apapun juga tentu tidak akan dipantangnya demi mencapai kesenangan.” kata Sinliong. “Hu-ha-ha, benar sekali, Anak Ajaib. Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apapun juga, termasuk membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini.”

Terdengar jawaban dan tahu-tahu disitu telah berdiri Raja Pengemis 8 Lengan. Tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu 5 kali ujung tongkat itu bergerak menerbangkan tanah dan kerikil ke depan. Tampak sinar hitam berkelebat menyambar 5 kali, disusul jerit-jerit kesakitan dan robohlah berturut-turut 5 orang desa yang berada di depan Sinliong, roboh dan berkelojotan kemudian tewas seketika kerana tanah dan kerikil itu masuk ke dalam kepala mereka. “Hi-hi-hik, kepandaian seperti itu saja dipamerkan di depan Anak Ajaib, lihat ini.” Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan tau-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik Cendekiawati Pedang Payung. Dia menudingkan payung hitamnya yang tertutup itu ke arah para penghuni desa yang berwajah pucat dan dengan mata terbelalak memandang 5 orang teman mereka yang telah tewas.

“Cuat-cuat-cuat.” Dari ujung payung itu meluncur sinar-sinar hitam dan berturut-turut, enam orang desa yang masih hidup menjerit dan roboh tak bergerak lagi, leher mereka ditembusi jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung payung itu. Sejenak Sinliong terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan dan kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas orang desa yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berderai dan dengan suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian kepada Raja Pengemis 8 Lengan dan Cendekiawati Pedang Payung, “Kalian ini manusia atau iblis? Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian amat terkutuk. Membunuh orang-orang tak berdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang.” Budak itu memandang kepada sebelas mayat dan sesenggukan menangis.

“Hi-hi-hik, anak baik, apakah kau takut kubunuh? Jangan khuatir, aku datang bukan untuk membunuhmu,” kata Cendekiawati Pedang Payung, agak kecewa melihat betapa budak ajaib itu menangis dan membayangkannya ketakutan. Sinliong mengangkat muka memandang wanita itu, biarpun air matanya masih berderai turun namun pandang matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan, “Kau mau bunuh aku atau tidak, terserah. Aku tidak takut.” “Ha-ha-ha. Benar hebat. Anak Ajaib, kalau kau tidak takut kenapa menangis?” Raja Pengemis 8 Lengan menegur. “Apa kau menangisi kematian orang-orang tak berharga itu?” Cendekiawati Pedang Payung menyambung. “Mereka sudah mati mengapa ditangisi? Aku menangis menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, aku menangis kerana melihat kesesatan dan kekejaman kalian.”

2 tokoh sesat itu terbelalak hairan saling pandang kemudian mereka teringat kembali akan niat mereka terhadap anak ajaib ini, keduanya seperti dikomando saja lalu tertawa, dan keduanya dengan kecepatan kilat menyerbu ke depan hendak menerkam Sinliong yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar mata sedikitpun tidak membayangkan rasa takut. “Dess..” Kerana gerakan mereka berbarengan, disertai rasa khuatir kalau-kalau keduluan oleh orang lain, melihat Raja Pengemis 8 Lengan sudah lebih dekat dengan Anak Ajaib, Cendekiawati Pedang Payung lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap Anak Ajaib kerana dia kalah cepat, melainkan melakukan gerakan mendorong dengan kedua tangannya ke arah Raja Pengemis 8 Lengan. Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh wanita iblis ini dahsyat sekali, membuat Raja Pengemis 8 Lengan terkejut ketika ada angin panas menyambar, dia cepat menunda niatnya menangkap Anak Ajaib dan bergerak menangkis. Keduanya merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke belakang.

Sejenak mereka saling berpandangan dan Raja Pengemis 8 Lengan yang lebih dulu dapat menguasai dirinya lalu tertawa, “Ha-ha-yha, lama tidak jumpa, Cendekiawati Pedang Payung menjadi makin gagah.” “Raja Pengemis 8 Lengan, selama ada aku di sini, jangan harap kau akan dapat merampas Anak Ajaib dari tanganku.” Wanita itu berkata dan memandang tajam, siap mengadapi datuk yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu. “Aha, Cendekiawati Pedang Payung, sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku memerlukannya untuk menyempurnakan ilmuku.” “Hi-hik, ilmu Tangan Darah Hitam, bukan? Kau sudah cukup tangguh, Raja Pengemis, dan betapa mudahnya bagimu untuk mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah, otak dan sum-sumnya. Jangan Anak Ajaib.” “Hmm, kau mau menang sendiri. Apa kau kira aku tidak tahu mengapa kau menghendaki Anak Ajaib? Dia masih terlalu muda, Cendekiawati, tentu tidak akan memuaskan hatimu. Apa sukarnya bagimu mencari orang-orang muda yang kuat dan menyenangkan?”

“Cukup! Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk memperebutkannya dengan kepandaian.” “Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku ingin mencuba kepandaian Cendekiawati dari Rawa Bangkai.” Lioksi, dari Rawa Bangkai sudah tak dapat menahan kemarahannya melihat ada orang berani merintanginya, sambil berteriak keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang istimewa, payung hitam yang tangkainya sebilah pedang runcing itu. “Trakk.” Raja Pengemis 8 Lengan sudah menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran 2 tenaga raksasa membuat keduanya terpental lagi ke belakang dan Raja Pengemis 8 Lengan cepat meloncat ke depan, tongkatnya berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ganas. “Trakk! Trakk!”

2 kali senjata payung dan tngkat bertemu di udara dan keduanya terhuyung ke belakang. Diam-diam mereka berdua terkejut sekali dan maklum dalam hal tenaga dalaman, kekuatan mereka berimbang. Sebelum mereka melanjutkan pertandingan mereka, tiba-tiba mereka melangkah mundur dan memandang tajam kerana berturut-turut di tempat itu telah muncul 5 orang datuk yang muncul tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul seperti setan-setan, tidak dapat didengar atau dilihat lebih dahulu, tahu-tahu sudah berdiri di situ sambil memandang ke arah Raja Pengemis 8 Lengan dan Cendekiawati Pedang Payung dengan bermacam sikap. Ketika 2 orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat dengan penuh perhatian mereka terkejut sekali. Biarpun di antara 5 orang itu ada yang belum pernah mereka jumpai, namun melihat ciri-ciri mereka, kedua orang golongan hitam ini dapat mengenal mereka yang kesemuanya adalah orang-orang aneh di dunia perkungfuan yang masing-masing telah memiliki nama besar sebagai orang-orang sakti.

Sementara itu, ketika melihat 2 orang datuk dan nenek tadi bertanding memperebutkan dirinya, Sinliong menjadi makin berduka. Tak disangkanya bahwa di tempat yang penuh damai ini di mana dia selama hampir 3 tahun tinggal penuh ketenteraman dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan kekejaman-kekejaman manusia ketika terjadi pembunuhan ayah bondanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang lebih hebat lagi di mana sebelas orang desa yang sama sekali tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh 2 orang itu. Dia lalu duduk di atas batu, bersila dan tak bergerak seperti arca, hatinya dilanda duka, dan dia memandang dengan sikap tidak mengacuhkan. Bahkan ketika muncul 5 orang aneh itu, dia pun tidak membuat reaksi apa-apa kecuali memandang dengan penuh perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan.

Orang pertama adalah seorang datuk berusia 60 tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka merah, kelihatan gagah sekali, di belakangnya tampak 2 bilah pedang menyilang, matanya lebar alisnya tebal dan suaranya nyaring ketika dia tertawa, “Ha-ha-ha, kiranya bukan hanya golongan putih saja yang tertarik kepada Anak Ajaib, juga iblis-iblis berdatangan sungguhpun tentu mempunyai niat lain.” Dengan ucapan yang jelas ditujukan kepada Cendekiawati Pedang Payung dan Raja Pengemis 8 Lengan ini, dia memandang 2 orang itu dengan terang-terangan. Orang ini bukanlah orang sembarangan, namanya sendiri adalah Siang Koanhouw, akan tetapi dia lebih terkenal dengan sebutan Tok Racun Bumi kerana selain merupakan seorang ahli racun yang sukar dicari tandingannya, juga dia amat ganas menghadapi lawan tidak mengenal ampun dan selain itu, juga dia amat jujur dan bicara bertindak tanpa pura-pura. Ilmu kungfunya tinggi sekali, dan yang paling terkenal sehingga menggegarkan dunia perkungfuan adalah ilmu pukulannya Kungfu Tangan Kilat dan Sepasang Pedang Seribu Racun. Tidak ada orang yang tahu di mana tempat tinggalnya kerana memang dia seorang perantau yang muncul di mana saja secara tak diduga seperti kemunculannya sekarang ini di Hutan Seribu Bunga.

“Huhh, bekas adikku yang tetap bodoh.” kata orang kedua. “Masa masih tidak mengerti apa yang dikehendaki 2 iblis ini. Tua busuk itu tentu ingin menghisap darah dan otak Anak Ajaib untuk menyempurnakan Ilmu Iblisnya Tangan Darah Hitam. Sedangkan iblis betina genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari kejantanan Anak Ajaib? Ayuh kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak tahu malu untuk menyangkal.” Orang yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang datuk yang beberapa tahun lebih tua daripada Tok Racun Bumi, bahkan menyebut Tok Racun Bumi sebagai bekas adik segurunya kerana memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang dan gerak-gerinya ketika bicara seperti seekor monyet tidak mau diam, bahkan kadang-kadang menggaruk-garuk kepala atau bontotnya, matanya liar memandang ke kanan-kiri. Inilah dia tokoh hebat yang berjuluk Racun Langit, bekas abang seguru Tok Racun Bumi yang memiliki kepandaian khas. Selain hebat dalam hal racun sesuai dengan nama dan julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Si Raja Monyet Sun Wukong itu. Sebatang tongkat yang dia beri nama Tongkat Monyet Emas seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah menciptakan ilmu kungfu tangan kosong yang meniru gerak-geri seekor monyet yang diberinya nama Kungfu Monyet Sakti. Seperti juga Tok Racun Bumi, dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu lagi nama aslinya, iaitu Bhong Sekbin.

“Hmm, setelah ada aku di sini jangan harap segala macam iblis dapat berbuat sesuka hati sendiri.” kata orang ke 3, suaranya kasar dan keras, pandang matanya seperti ujung pedang menusuk. Orang ini bernama Ciangham julukannya Dunia Utama. Usianya lebih kurang 50 tahun, dan dia adalah ketua dari Kumpulan Lengan Waja yang didirikannya di Secuan. Di tangan kirinya tampak sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal memiliki lengan sekuat waja. Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli kungfu dan setiap gerak-gerinya menunjukkan dia telah mempunyai kepandaian kungfu yang sudah mendarah daging di tubuhnya.

Orang ke 4 adalah seorang berpakaian sasterawan, sikapnya halus, usianya 50 tahun tapi masih tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah menjura ke arah kedua orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang mauwpit alat tulis pena panjang. “Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat ini, tidak sangka bertemu dengan 2 orang tokoh terkenal seperti kalian berdua, Raja Pengemis 8 Lengan dan Cendekiawati Pedang Payung, terutama sekali kepada Cendekiawati, terimalah hormatku.” Raja Pengemis 8 Lengan sudah segera mengenali siapa orang ini, akan tetapi Cendekiawati Pedang Payung tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata-kata menentang dari 3 orang pertama, merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan kata-kata orang berpakaian sasterawan yang tampan ini. Dia pun membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum simpul manis sekali dia bertanya, “Harap maafkan, tetapi siapakah saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki ilmu kepandaian sastera dan kungfu yang tinggi ini?”

Lelaki itu tersenyum dan menjawab halus, “Saya yang rendah dinamakan orang Pelajar Seruling Perak, seorang yang suka menyendiri di Gunung Beng.” Cendekiawati Pedang Payung kembali menjura, tersenyum dan berkata, “Aihh, sudah lama sekali saya telah mendengar nama besar Pelajar Seruling Perak, sebagai seorang ahli kungfu tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup seruling yang mahir dan sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Gunung Beng. Mudah-mudahan saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Gunung Beng yang indah, menjadi tamu Pelajar Seruling Perak yang ramah dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun.” Ucapan terkhir ini jelas ditujukannya kepada 3 orang tokoh pertama yang kasar-kasar tadi.

Orang ke 5 dari rombongan itu adalah seorang rahib berusia 60 tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah Kebutan dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya digoyang-goyang mengipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk. Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab Agama Tao, kitab utama dari kaum rahib (Pemeluk Agama Tao).
Amat sempurna,
namun tampak tak sempurna
tampak tidak lengkap
sungguhpun kegunaannya tiada kurang
Terisi penuh
namun tampaknya meluap tumpah,
tampaknya kosong
sungguhpun tak pernah kehabisan
Yang paling lurus,
kelihatan bengkok,
yang paling cerdas,
kelihatan bodoh,
yang paling fasih,
kelihatan bisu.
Api panas dapat mengatasi dingin,
air sejuk dapat mengatasi panas,
Sang Budiman, murni dan tenang
dapat memberkati dunia.”
“Huah-ha-ha-ha. Anda tentulah Pertapa Sakti Laut Selatan, bukan? Sajak-sajak Kitab Agama Tao agaknya telah menjadi semacam cap anda, ha-ha-ha.” kata Raja Pengemis 8 Lengan sambil tertawa mengejek. Rahib itu berkata, “Siancai. Raja Pengemis 8 Lengan bermata tajam, dapat mengenal seorang rahib miskin dan bodoh.” “Ah, jangan merendah, tok rahib,” kata Cendekiawati Pedang Payung, “Siapa orangnya yang tidak tahu biarpun anda seorang yang berpakaian rahib dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah istana dan menjadi majikan Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan pakaian lama untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya.”

“Siancai. Pujian kosong..” rahib itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tok Racun Bumi Siang Koanhouw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar. “Apa semua kepura-puraan yang menjemukan ini? Raja Pengemis 8 Lengan dan Cendekiawati Pedang Payung, ketika kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang merebutkan Anak Ajaib dan tentu 11 orang desa ini kalian berdua yang membunuhnya.” “Tok Racun Bumi, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?” Raja Pengemis 8 Lengan menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jelas dia merasa tak senang. “Bukan urusanku, memang. Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai maksud yang sama, iaitu masing-masing menghendaki agar Anak Ajaib menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Anak Ajaib untuk menjadi murid kami atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk.” kata pula Tok Racun Bumi yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi melalui suaranya yang nyaring.

“Tok Racun Bumi, kau jangan sombong. mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Anak Ajaib, adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. yang jelas, kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Anak Ajaib, untuk kepentingan pribadi masing-masing tentu saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini 5 orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dari dunia perkungfuan hendak mengandalkan ramai orang mengeroyok kami berdua. Aku, Cendekiawati Pedang Payung sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Pelajar Seruling Perak, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan.” kata Cendekiawati Pedang Payung yang cerdik.

“Perempuan sombong, Cendekiawati Pedang Payung.” Tok Racun Bumi membentak marah dan melangkah maju. “Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti engkau dari muka bumi.” “Tok Racun Bumi, buktikan tuduhanmu.” Cendekiawati Pedang Payung membentak dan dia pun melangkah maju. “Eh-eh, nanti dulu. Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Anak Ajaib? Kami pun tidak mau ketinggalan.” kata Raja Pengemis 8 Lengan mencela. “Benar sekali. Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh 2 orang saja. Aku pun tidak takut mengadapi siapa pun untuk memperoleh Anak Ajaib.” Dunia Utama Ciangham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada.

“Siancai, siancai..” Pertapa Sakti Laut Selatan melangkah maju, menggoyang kebutannya. “Harap Cuwi suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan budak yang biasanya hanya saling baku hantam memperebutkan sesuatu, sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, iaitu ingin memperoleh Anak Ajaib. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Anak Ajaib sendiri. marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada Anak Ajaib, kepada siapa dia hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau mencampuri, Bagaimana?” “Hmm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju.” kata Tok Racun Bumi. “Aku pun setuju.” kata Racun Langit dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin keras agar terdengar oleh Anak Ajaib.

“Tentu saja harus jujur tidak membohongi Anak Ajaib akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari kejantanannya juga harus berterus terang.” Tentu saja 2 orang tokoh golongan hitam itu geram sekali dan ingin menyerang Racun Langit yang licik itu. “Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau kata hendak mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?” Cendekiawati Pedang Payung mengejek Racun Langit. “Kau..” Majulah, rasakan Tongkat Monyet Emas pusakaku ini.” “Boleh. Siapa takut?” Wanita itu balas membentak. “Siancai..” Pertapa Sakti Laut Selatan mencela dan melangkah maju. “Apakah kalian benar-benar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan Anak Ajaib.”

7 orang itu lalu menghampiri Anak Ajaib yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku 7 orang itu. “Anak Ajaib, Lihatlah, aku satu-satunya wanita di antara kami bertujuh. Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana kerana tidak mempunyai anak, aku dengar engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bonda lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang raja di istanaku, di Rawa Bangkai dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Anak Ajaib, anakku.” Sinliong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab, juga tidak bergerak, hatinya makin sakit kerana dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan di balik pujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa 6 orang desa yang tidka berdosa. Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.

“Anak Ajaib, aku adalah ketua dari Kumpulan Pengemis 8 Lengan di Gunung Hong. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Anak Ajaib, dan kelak engaku akan menjadi raja pPengemis. Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Raja Pengemis 8 Lengan akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini.” Kembali Anak Ajaib memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh 5 orang desa sambil tertawa seperti datuk ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja pengemis. Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya.

“Anak baik, Anak Ajaib, dengarlah, Aku adalah Pelajar Seruling Perak, seorang sasterawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Gunung Beng. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu kungfu, ilmu sastera dan ilmu meniup seruling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Anak Ajaib.” “Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Anak Ajaib. Biarpun aku seorang yang kasar, namun hatiku lembut mengadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takan kecewa menjadi murid Tok Racun Bumi. Pilihlah aku menjadi gurumu, Anak Ajaib.”

“Tidak, aku saja. Aku Bhong Sekbin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewarisi ilmu Tongkat Monyet Emas. Kau jadilah murid Tok Racun Langit dan kelak kau akan merajai dunia perkungfuan, Anak Ajaib.” “Lebih baik menjadi muridku. Aku Dunia Utama Ciangham, di kolong dunia nombor satu dan ketua dari Kumpulan Lengan Waja di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong langit.”

“Siancai...siancai.” Kau dengarlah mereka semua itu, Anak Ajaib. Semua hendak mengajarkan ilmu kungfu dan mempamerkan kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi aku ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak aku jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar seperti Nabi Locu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Pertapa Sakti Laut Selatan, Anak Ajaib.” Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada budak yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang orang yang memujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan penuh duka.

“Terimakasih kepada tuan sekalian. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga di antara kalian kerana di balik semua kebaikan terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia, tidak, saya tidak akan turut siapapun, saya lebih senang tinggal di sini, di tempat sunyi ini. Harap sekalian tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini.” “Wah, kepala batu. Kalau begitu, aku akan memaksamu.” kata Tok Racun Bumi yang berwatak kasar. “Eh, nanti dulu. Siapa pun tidak boleh mengganggunya.” bentak Tok Racun Langit. “Siancai...sabar dulu semua. Jelas budak ajaib ini tidak mau memilih seorang di antara kita secara sukarela. Kerana itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, sebaiknya kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak meimiliki Anak Ajaib,” kata Pertapa Sakti Laut Selatan yang lebih sabar daripada yang lain.

“Mana diatur begitu?” bantah Raja Pengemis 8 Lengan yang khuatir kalau-kalau 5 orang itu akan mengeroyok dia dan Cendekiawati Pedang Payung. “Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus mengadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu baru adil.” “Tidak.” bantah Cendekiawati Pedang Payung, wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan Pertapa Sakti Laut Selatan. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. “Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demikian, satu0satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah hebat dari pada yang lain.”

Akhirnya Raja Pengemis 8 Lengan kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata masing-masing, membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling lirik, siap untuk menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga. Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh. Sinliong yang masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika 7 orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi Sinliong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa.

Memang hebat pertandingan ini kerana dipandang sepintas lalu, seolah-olah seetiap orang melawan 6 orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tok Racun Bumi menyerang Raja Pengemis 8 Lengan dengan pedang kembarnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Raja Pengemis 8 Lengan terkejut kerana pada saat itu dia sedang menyerang Pertapa Sakti Laut Selatan yang di lain pihak juga sedang menyerang Pelajar Seruling Perak. Terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tok Racun Bumi itu bertemu dengan tombak di tangan Dunia Utama dan tongkat Racun Langit, sehingga seolah-olah 2 orang ini melindungi Raja Pengemis 8 Lengan. Pertandingan kacau bilau dan hanya Cendekiawati Pedang Payung yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun itdak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang di antara mereka yang terdesak.

Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan ‘mengeroyok’ tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, tidaklah mudah dibokong oleh Cendekiawati Pedang Payung, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam pertandingan kacau-bilau itu. Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan meluap-luap.

Sinliong menjadi bengong. Entah bila datangnya, dia melihat seorang lelaki duduk di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan itu. Lelaki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencorat-coret di atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu. Sinliong yang kehairanan itu memperhatikan. Orang lelaki itu lebih kurang 40 tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagagian dada bajunya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan janggut terpelihara baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakainya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga mengkilap.

Rambutnya memakai kopiah sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan antara 7 orang sakti itu. Sinliong makin bingung. Betapa mungkin melukis 7 orang yang sedang berkelebatan hampir tak tampak itu? Sinliong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu 7 orang itu telah ada yang terluka. Dunia Utama telah terkena hantaman tongkat Racun Langit di pahanya sehingga terasa nyeri. Raja Pengemis 8 Lengan juga kena serempet bahunya sehingga berdarah oleh sebilah di antara Pedang kembar di tangan Tok Racun Bumi, sedangkan Pertapa Sakti Laut Selatan dan Pelajar Seruling Perak juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar sampai muntahkan darah namun berkat tenaga dalaman mereka, kedua orang ini tidak mengalami luka dalam yang parah.

Sinliong melihat betapa lelaki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan coretannya, menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranting pohon, memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tubuhnya melayang turun. “Tontonan tidak bagus.” Terdengar dia berseru. “7 orang tua bangka gila memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil benar-benar tak tahu malu sama sekali!” 7 orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung mereka itu. Mengertilah mereka yang datang ini memiliki aura dan tenaga dalaman yang amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan untuk menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Anak Ajaib yang masih duduk bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan masing-masing melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah lelaki gagah yang baru muncul itu. Namun, tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengenalnya, ketujuh orang itu menjadi amat marah.
Categories: ,

0 komen:

Post a Comment